Munculnya gerakan "salafy"[1] di tengah para pegiat dakwah merupakan peristiwa fenomenal. Dengan gaya khas-nya, kelompok ini mengobok-obok para ulama, du'at serta jama'ah-jama'ah dakwah lain yang tidak sepaham dengan mereka.
Padahal,
sebelum era 90-an, yakni sebelum pecah perang teluk, barisan kaum
muslimin khususnya para pengusung al-haq di seluruh pojok dunia terfokus
menghadapi geliat penyimpangan akidah, kaum kuffar, dan sekuler.[2]
Namun tiba-tiba dunia seolah dikejutkan oleh fenomena lahirnya fikrah
"salafy" ini. Begitu fenomenal. Sebab hadir dengan sebuah fikrah yang
membuat banyak orang tercengang, tak percaya. Kelompok anak-anak muda
yang sangat berani menyerang dan menuding ulama umat, tak terkecuali
para ulama terdahulu yang banyak melahirkan karya-karya monumental bagi
umat ini, seperti Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam an-Nawawi dan selain
keduanya –rahimahumullah-.
Ketidakpercayaan
di sini dilatari oleh sebuah keyakinan umum, bahwa ulama merupakan
mercusuar agama ini. Dipandang, dihormati, diberikan tempat layak dalam
kapasitasnya sebagai pengarah dan penunjuk bagi umat.[3]
Namun sekejap seakan mereka tidak lagi memiliki apa-apa di mata
anak-anak muda tersebut. Begitu berani, kalau tidak dikatakan sebagai
kelancangan.[4]
Olehnya, perhatian dan konsentrasi umat-pun pecah. Disatu sisi sibuk
menghadapi makar musuh yang nyata dari kalangan kuffar, munafikin dan
sekuler, namun di sisi lain mereka dibebani tugas tambahan membela diri,
dan meredam fitnah kelompok "salafy" tersebut. Fatwa-fatwa, nasehat,
pengarahan dan sebagainya membumbung ke langit terbidik pada kelompok
ini. Hal ini telah disinggung pada akhir tulisan kami Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du'at
II, bahwa seluruh fatwa-fatwa dan nasehat ulama yang kami paparkan di
dalamnya, mustahil lahir begitu saja tanpa dipantik oleh sebuah fenomena
menyedihkan.
Yang
membuatnya menjadi semakin fenomenal, gerakan ini begitu cepat
merembeti hampir seluruh penjuru dunia. Dan rata-rata penggeraknya
adalah anak-anak muda enerjik dan hanya bermodal hamasah.
Seruannya pun sama. Hingga pada tataran penerapan fikih ibadah, nyaris
serupa di seluruh belahan dunia. Perhatikan awal kemunculannya dibarengi
dengan gaya shalat yang sama di hampir seluruh dunia. Yaitu dalam
persoalan al-'Ijn (mengepalkan telapak tangan dan menjadikan
sebagai tumpuan kala bangkit dari sujud), dan masalah mendahulukan
tangan dari lutut saat akan sujud.[5]
Sampai sampai pada kenyataan, -dahulu- anak-anak muda ini berasumsi dan
menimbang seseorang dari gaya shalatnya. Siapa yang tidak shalat
seperti shalat mereka, dinyakini bukan dari kelompok mereka. Yah, sampai pada derajat demikian.
Demikian pula konsep bid'ah, ahli bid'ah dan aplikasi konsep itu dalam kehidupan beragama, masih belum tuntas hingga saat ini.[6]
Apalagi pada saat awal kemunculannya. Begitu mudahnya mereka bertikai.
Makanya tidak aneh, jika pada hari ini kita saksikan mereka duduk
bersama, mengkaji ilmu bersama, menuding orang lain secara bersama,
namun esoknya mereka sendiri yang saling menyerang, saling menuding
sebagai ahli bid'ah, dan saling merasa diri sebagai ahli sunnah sejati.
Setelah itu berebutan menarik sedapat bisa murid-murid dan pengikut,
lalu didoktrin melalui hampir seluruh majelis-majelisnya, bahwa
mereka-lah ahli sunnah, sedangkan fulan –yang dulu bersamanya- bukan
lagi ahli sunnah, menyimpang, dan sebagainya.[7]
Pokoknya, Ahlu Sunnah hanya terbatas bagi dirinya dan kelompoknya, dan
siapa yang berseberangan dengan mereka, maka mereka-pun berteriak bahwa
fulan telah menyelisihi Ahlu Sunnah, demikian pula jika tidak sepaham
dengan Syaikh panutannya, mereka akan berkata, si fulan menyelisihi
ulama Ahlu Sunnah !!.
Celakanya,
murid-murid yang sebelumnya pernah belajar dari ustadz fulan, ketika
telah berpindah majelis ikut-ikutan mencela dan menuding mantan
ustadznya yang dahulu mendiktekan ilmu syar'i padanya. Tidak ada rasa
hormat sedikitpun apalagi menghargai. Makanya dalam beberapa tahun
terakhir ini perhatian kaum muslimin di tanah air tersita oleh kelompok
ini. Datang secara tiba-tiba, menyerang membabi buta, lalu mereka
sendiri saling bertikai. Puncaknya kisruh panjang yang berakhir
mubahalah antara Ustadz Ja'far Umar Thalib dari kalangan "salafy” dan
Syaikh Syarif Fu'ad Hazza dari Jam'iyyah Ihya' at- Turots yang
diperbantukan di Pesantren al-Irsyad Tengaran Salatiga Solo. Lalu
disusul kisruh-kisruh lainnya antara Ust. Ja'far dan mantan murid-
muridnya yang berujung lahirnya fatwa sang panutan "salafy" Asy-Syaikh
Rabi' bin Hadi al-Madkhaly –hafidzahullah-, bahwa Ust. Ja'far
telah meninggalkan Ahli Sunnah, dan kemudian menyeberang ke jama'ah yang
sangat bertolakbelakang dengan apa yang ia gaungkan selama ini.[8].
Setelah itu mereka pun berebutan mencari simpati -kalau istilah jawanya sungkeman- di hadapan ulama atau Syaikh yang menjadi panutan dan marja'
mereka dalam bermanhaj yang jumlahnya hanya gelintiran. Mencari
tazkiyah dan lejitimasi serta meminta fatwa tentang keadaan saudaranya,
melalui pertanyaan-pertanyaan umum yang kemudian ditanzil secara
serampangan terhadap lawan seterunya. Lalu ditulis atau direkam, setelah
itu disebarkan di tengah-tengah masyarakat, khususnya pengikut mereka
agar jangan sampai terpengaruh oleh kelompok lain, seraya mengatakan,
"Lihatkan Syaikh fulan berfatwa bahwa fulan itu ahli bid'ah, bukan ahli
sunnah, telah meninggalkan ahli sunnah dan lain sebagainya". Dan lawan
seterunya pun berbuat hal yang sama. Menukil lalu menghembuskan fatwa
Syaikh lainnya yang juga berasal dari jenis pertanyaan yang serupa tapi
tak sama.
Anehnya,
jika muncul fatwa atau risalah dari kalangan ulama mu'tabar dan
terpandang bertentangan dengan hawa nafsunya, segera mereka memasang
argumen-argumen peredam fatwa itu. Diantaranya, bahwa fatwa itu telah
mansukh (terhapus), atau Syaikh fulan telah ruju' dan sebagainya. Tapi
jika argumen-argumen tersebut tidak efektif, mereka tidak segan
mengatakan, bahwa fatwa dan buku itu adalah karya terjelek yang pernah
ditulis oleh Syaikh fulan!.[9]
Akhirnya, waktu dan potensi anak-anak muda itu terkuras lantaran
disibukkan oleh perlombaan-perlombaan ini dari menuntut dan mendalami
ilmu syar'i. Wallahul musta'an.
Jika menilik gaya kelompok "salafy" di seluruh dunia, dan apa yang mereka serukan berupa tahdzir pada ulama-ulama yang mereka anggap hizbi serta perang terhadap manhaj al-muwazanah, maka itu tidak lebih dari sekedar adopsi dari manhaj al-Allamah asy-Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhaly –hafidzahullah-
dalam menyikapi orang-orang yang tidak sejalan dengan beliau, yang
kemudian dibukukan dalam beberapa karyanya diantaranya dan yang paling
nampak adalah "Manhaj Ahli Sunnah fi Naqdi ar-Rijal wa al-Kutub wa ath-Thawaaif".
Dan
sebagai bahan renungan, kami akan paparkan secara ringkas manhaj
kelompok "salafy" tersebut dalam mengkritik orang lain agar dapat
menjadi pelajaran bagi kita.
Pertama: Menjadikan sikap adil, ihsan, persaksian kebenaran, serta menegakkan keadilan sebagaimana perintah Allah Ta'ala: "Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri…". (Qs: an-Nisa' : 135), juga firman Allah Ta'ala: "Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa". (Qs: al-Maidah : 8), dan selainnya sebagai manhaj
Ahli Bid'ah yang kemudian dimasyhurkan dengan nama "Manhaj al-Muwazanah"
dan bahwasanya metode ini bukan manhaj Ahlul Hadits dan Ahlu Sunnah.
Kedua: Menganggap bahwa tamassuk (berpegang) pada kesalahan dan kekeliruan manusia termasuk bagian dari agama. Dan
bahwasanya, manusia tidak ditimbang melainkan dengan
kesalahan-kesalahan dan kekeliruan tersebut. Menurut asumsi mereka,
hukum terhadap orang lain berdasarkan kesalahan serta kekeliruan, dan
bahwasanya setiap kesalahan dan kekeliruan itu menghancurkan kebaikan
dan kemuliaan.
Ketiga: Manhaj kritik kelompok "salafy" ini telah melahirkan jama'ah-jama'ah Takfir dan Tafsiq (Jama'ah yang gampang menuduh orang lain kafir dan fasik) yang kemudian menuding sesat ulama Salaful Ummah lalu membakar karya-karya monumental mereka, seperti kitab Fathul Bari karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Syarhu Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi, aqidah ath-Thahawiyah
dan selainnya. Dan mereka ini, tidak diragukan lagi, adalah alumni dari
manhaj dan metode kritik orang lain yang rusak tersebut.
Keempat:
Manhaj ini tidak menyisakan tempat terpuji bagi seorang dari ulama
Islam, sebab ia dibangun di atas pondasi mengendus-ngendus kesalahan,
kekeliruan dan ketergelinciran, padahal tidak ada di dunia ini seorang
yang memperoleh sifat al-ishmah kecuali Nabi shallallahu alaihi wasallam.[10]
Olehnya, tatkala mereka mengorek-ngorek kesalahan ulama-ulama yang
berseberangan dengan Syaikh mereka, maka seteru-seterunya pun membalas
dengan perbuatan yang sama, yakni berusaha tanpula mengerik-ngerik
kekeliruan dan kesalahan Syaikh mereka juga. Maka jadilah setiap dari
kedua kelompok sibuk saling mengendus, mengorek dan mengerik kesalahan
yang ada pada lawan seterunya. Olehnya, siapa yang memulai suatu sunnah
(kebiasaan) buruk, maka atas dosa (atas perbuatan itu) dan dosa orang
yang mengikutinya hingga hari kiamat kelak.
Kelima:
Manhaj ini menjadikan para pemuda awam yang masih hijau dalam ilmu
syar'i menjadi berani (baca: lancang) merusak dan mencemari harga diri
dan kehormatan ulama, serta mengendus kesalahan-kesalahan mereka.
Padahal, mereka ini masih sangat hijau dan baru saja akan mendalami ilmu
syar'i, dimana kondisi ini –lantaran mereka masih baru– menyebabkan
terjadinya banyak penyimpangan di kalangan mereka, diantaranya
meninggalkan ajaran-ajaran agama, akhlak, tabiat yang terpuji, dan
selainya. Dan anehnya, mereka mendendangkan bahwa perbuatan mencela dan
menuding ulama tersebut sebagai bagian dari agama yang dengannya mereka
mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
Keenam:
Manhaj dalam mengkritik ala kelompok "salafy" ini menyebabkan rusaknya
citra Ahli Sunnah di hadapan orang yang tidak paham terhadap metode Ahlu
Sunnah berkaitan dengan sifat adil dan ihsan. Demikian pula di hadapan
orang-orang yang jahil terhadap manhaj para ulama-ulama Ahlu Sunnah,
hingga mereka menilai bahwa manhaj Ahlu Sunnah itu adalah mencela,
menghina, menuduh ahli bid'ah tanpa dasar, dan mengorek-ngorek kesalahan
orang lain, yang karenanya memalingkan manusia dari manhaj Ahli Sunnah
itu sendiri.
Ketujuh: Manhaj ini menyebabkan pengikutnya terjebak dalam tanaaqhud
(pertentangan), lahirnya "dua timbangan" (standar ganda), serta hukum
dalam satu masalah dengan dua perkataan yang saling bertentangan.[11] Olehnya, banyak lahir dari kalangan mereka taqiyyah
dan dusta. Akibatnya, mereka pun memiliki perkataan-perkataan rahasia
dalam membid'ahkan pemuka-pemuka umat, dimana mereka tidak berani
menampakkannya di hadapan khalayak.
Kedelapan: Manhaj
kritik ini menyebabkan tertutupnya mata hati kebanyakan thullabul ilmi,
hingga tanpa disadari mereka berdiri dalam shaf musuh-musuh Islam dalam
menghadapi saudara-saudara muslim mereka.
Kesembilan:
Manhaj ini menyebabkan perpecahan yang sangat banyak dalam tubuh umat
Islam secara umum, dan khususnya barisan Ahli Sunnah, yang belum pernah
terjadi pada manhaj manapun. Dimana mereka memberi al-wala dan al-bara
hanya lantaran masalah-masalah tertentu dari furu'iyyah agama.
Bahkan, mereka menganggap bahwa salafy itu adalah yang berkata ini dan
itu, di samping begitu cepat mendepak seorang muslim dari manhaj ahlu
sunnah dan barisan para pengikut salafus salih hanya lantaran
menyelisihi satu perkara dari masalah-masalah ijtihad, dan wajib
mendapatkan al-bara'.
Kesepuluh:
Manhaj ini memalingkan kaum muslimin dari menghadapi musuh-musuh Islam
yang nyata dari kalangan kuffar dan munafiqin. Dimana pada du'at sibuk
membela diri dan kehormatan ulama dihadapan gempuran syubhat dan dusta
yang ramai dihembuskan oleh pengekor manhaj ini, hingga memberi ruang
yang lapang bagi musuh-musuh Islam menancapkan taring-taring mereka
dalam agama yang mulia ini.[12]
Terakhir, kami akan nukilkan perkataan al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali –rahimahullah- dalam kitabnya Jami' al-Ulum wa al-Hikam I/340, berkaitan dengan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari 'Uqbah bin 'Amir radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang menutupi aib seorang mukmin, niscaya Allah Ta'ala akan menutupi (aib) nya pada hari kiamat", beliau (Ibnu Rajab) berkata: Diriwayatkan dari perkataan sebagian salaf: "Sungguh
aku mendapati suatu kaum yang sebenarnya mereka tidak memiliki aib dan
cela, namun mereka suka mengungkit aib-aib manusia, maka orang lain pun
mengungkap aib-aib mereka. Sebaliknya, aku juga mendapi suatu kaum yang
memiliki banyak aib dan kekurangan, namun mereka menahan diri dari
(mencari-cari) aib orang lain, maka aib-aib mereka pun terlupakan". Demikian pula Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah –rahimahullah-
memiliki perkataan berharga dan pantas digoret dengan air mata, sebab
jelas melukiskan kondisi sebagian penuntut ilmu di zaman ini: "Merupakan
perkara aneh, seorang itu begitu mudah baginya menjaga diri dari
makanan haram, berlaku zalim, zina, mencuri, minum khamer, memandang
sesuatu yang diharamkan dan sebagainya, namun sulit baginya mengontrol
gerakan lisannya. Hingga engkau melihat seorang yang terkenal akan
kebaikan agama, sifat zuhud dan ibadah, namun ia berkata-kata dengan
kalimat yang memancing murka Allah sementara ia tidak peduali akan hal
itu, namun satu kalimat itu cukup menjauhkannya antara timur dan barat.
Betapa banyak engkau saksikan seorang yang begitu wara' (menjaga diri)
dari perbuatan keji dan zalim, namun lisannya panjang dalam (mencela)
kehormatan dan harga diri orang, baik yang masih hidup maupun yeng telah
mati, serta tidak ambil peduli terhadap apa yang ia ucapkan".[13] (AbRh).
[1] . Perlu ditegaskan, kami menggunakan istilah "salafy" (dengan menggunakan tanda petik) sebagai ta'rif
(pengenal) bagi kelompok ini, karena kami yakin tidak seluruh yang
menisbatkan diri pada dakwah salaf berperangai seperti mereka. Demikian
pula, hanya nama ini-lah -"salafy"- yang mereka diridhai (semoga nama
tersebut sesuai dengan subtansinya). Jika kami menggunakan nama lain,
misalnya MANIS, atau Rabi'iy, atau Muqbily, sebagaimana mereka menamakan kelompok-kolempok lain dengan istilah Surury, Ikhwany, Turotsy dan
sebagainya, mereka murka dan sangat keberatan, seraya menyatakan bahwa
mereka tidak pernah menisbatkan nama kelompok mereka dengan nama-nama
tersebut, dan kami tidak ingin menzalimi mereka dalam hal ini.
[2] .
Al-Allamah Fadhilatus Syaikh Abdullah bin Qu'ud berkata dalam
ceramahnya yang berjudul Washaya li ad-Du'aat, vol. II setelah
memeparkan fitnah tajriih khususnya terhadap para ulama: "...wahai saudara-saudaraku, sesuai pengalaman selama empat puluh tahun lalu, kita tidak mendapatkan seperti wajah-wajah ini…". (Lihat dan dengarkan di: www.islamgold.com).
[3] . Seperti diketahui bahwa kedudukan alim ulama begitu tinggi dalam syari'at Islam. Banyak ayat al-Qur'an dan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam yang menjelaskan akan hal tersebut, diantaranya Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama". (Qs. Fathir : 28). Juga firman-Nya: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat". (Qs. Al-Mujadilah : 11).
Adapun keterangan dari as-Sunnah, maka cukuplah bagi kita sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Keutamaan
seorang alim di atas abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan purnama
dibandingkan bintang-bintang. Para ulama itu adalah pewaris para nabi,
sedang para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Hanya
saja yang mereka wariskan adalah ilmu, maka siapa yang mengambilnya,
sungguh ia telah mengambil bagian yang sangat benyak". (HR. Abu Daud, ati Tirmidzi, ad-Darimi, hadits ini derajatnya hasan).
Ibnul Qoyyim rahimahullah
memberi banyak catatan pada hadits ini, diantaranya catatan beliau
adalah, dikarenakan warisan itu berpindah kepada orang yang paling dekat
dengan (sang mayyit), maka ini merupakan peringatan bahwa ulama adalah
golongan yang paling dekat dengan para Nabi. (Lihat: Miftah Daar as-Sa'adah, Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, hal 66. Program al-Maktabah al-Syamilah, vol 3.3).
Bahkan di antara ushul manhaj Ahlu Sunnah wal Jama'ah sebagaimana ditegaskan oleh al-Allamah Syaikh Abdur Rahman as-Sa'di –rahimahullah- adalah: "Mereka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan menghormati para ulama yang membawa petunjuk". (Lihat: al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, Abdur Rahman as-Sa'di, I/13. Program al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3).
Hasan
Al Bashri berkata: Adalah mereka (para salaf) berkata: "Kematian
seorang ulama merupakan cela pada (bangunan) Islam, dan tidak ada
sesuatu yang dapat menambalnya sepanjang pergantian siang dan malam".
(Lihat: Sunan ad-Darimi, Abu Muhammad ad-Darimi, no: 324. program al-Maktabah al-Syamilah).
Dari
Hilal bin Khabbab, ia berkata: "Aku bertanya kepada Said bin Jubair:
Apa tanda kebinasaan bagi manusia? Beliau menjawab: "Jika ulama mereka
telah wafat". (Lihat: Ibid, no 241).
[4] . Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang memusuhi wali-wali-Ku, maka sungguh Aku nyatakan perang atasnya…". (HR. Bukhari).
Imam al-Khatib al-Baghdadi –rahimahullah- meriwayatkan dari Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi'i –rahimahumallah-,
bahwa keduanya berkata: "Jika sekiranya para fuqaha (ulama fikih) itu
bukan wali-wali Allah, maka sungguh Allah tidak memiliki wali". (al-Majmu', I/24, program al-Maktabah al-Syamilah).
Ibnu Abbas –radhiallahu anhuma- berkata: "Siapa yang menyakiti seorang faqih (ulama) sungguh ia telah menyakiti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan siapa yang menyakiti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka sungguh ia telah menyakiti Allah Azza wa Jalla". (Ibid).
[5] .
Yang menjadi pertanyaan di sini, berkaitan dengan keseragaman gaya dan
gerakan shalat pemuda-pemuda gerakan "salafy" tersebut. Apakah lahir
dari pendalaman dan pengkajian hingga setiap dari mereka sampai pada
kesimpulan bahwa demikianlah gaya dan gerakan yang dipraktekkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, atau hanya sekedar taklid atau
ikut-ikutan orang banyak?? Memang benar bahwa hal ini disinggung dalam buku Sifat Shalat Nabi
karya Muhaddits abad ini, Syaikh al-Allamah Muhammad Nashiruddin
al-Albani. Kendati pada akhirnya sebagian mereka (khususnya "salafy" di
Makassar) lantas merubah dan tidak lagi mengamalkan gerakan "khusus"
yang kami sebutkan di atas, sebab tenyata tidak sejalan dengan pendapat
asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i (guru Ust. Zulkarnain) di Yaman. Ala kulli hal,
anak-anak muda "salafy" itu biasanya hanya taqlid kepada syaikh atau
gurunya termasuk dalam persolan fiqh yang sifatnya furu’ seakan-akan
harus seragam, bukankah ini ada indikasi taqlid? Wallahu A'lam.
[6] .
Sebagai contoh, dan masih banyak lagi contoh-contoh lain. Kasus yang
terjadi beberapa tahun lalu, pada salah satu daerah di Sumatera. Seorang
ustadz "salafy" kala mengkaji perkataan salaf yang menyatakan bahwa maksiat itu lebih ringan daripada bid'ah, ia kemudian berkata dalam sebuah mesjid yang mayoritas penduduknya berpaham NU, "Lebih baik antum sekalian pergi berzina dan mencuri daripada ikut tahlilan…!!".
Serentak masyarakat mengamuk dan mengusir mereka. Sekitar thn 2005
kemarin, saat bertemu dengan teman kami yang kampungnya berseberangan
dengan daerah tempat kejadian ini, ia menuturkan, bahwa sampai saat itu
(thn 2005) padahal kejadiannya telah berlalu beberapa tahun lalu,
masyarakat masih melalukan sweeping mobil-mobil yang lewat daerah mereka, lalu memukuli jika ada yang nampak ciri-ciri "salafy" padanya.
[7] . Celakanya, tudingan-tudingan tersebut terkadang telah sampai pada taraf menta'yin seseorang selain kelompoknya sebagai ahli neraka. Sebagaimana kejadian yang terjadi pada ikhwah kami di Raha –alhamdulillah,
ikhwah yang dituding masih hidup dan bisa dikonfirmasikan setiap saat-,
saat beliau berpapasan dengan salah seorang murid hasil tarbiyah ustadz
"salafy", dan mengucapkan salam maka dijawab dengan kalimat yang
membuat bulu kuduk merinding: "Afwan akhi, kita berbeda akidah, ana ahlul Jannah wa anta Ahlu Naar !!??". Yah, sampai sedemikian jauh penerapan kaidah hajr yang diaplikasikan oleh murid-murid kelompok "salafy".
Demikian
pula terjadi di Makassar, seorang seorang akhwat yang baru saja
mendapat hidayah (baru saja pakai jilbab) melalui sebab seorang ustadz –alhamdulillah
ustadz Alumni Fak. Syari'ah STIBA dan memiliki jam terbang dakwah yang
padat tersebut masih hidup dan dapat dikonfirmasi setiap saat-, setelah
mendengarkan kaset hujatan Ust. Zulkarnain terhadap WI, ia lantas
menulis surat kepada sang Ustadz dengan kalimat-kalimat yang juga
membuat hati menangis. Kami tidak hendak menulis secara detil isi
suratnya, tapi cukup kami sebutkan awal suratnya: "Dari ukti…..kepada Ustadz fulan Ahli Bid'ah !!?".
Ada
juga yang pernah diceritakan oleh salah seorang Syaikh -dosen Fakultas
Hadits di Universitas Islam Madinah al-Minawwarah- di kelas pada saat
perkuliahan, dan ini terjadi di Saudi, saat muncul kaset atau buku yang
mentahdzir seorang da’i yang dituding menyimpang, maka kaset dan
buku tersebut lantas dibagi di tempat-tempat umum oleh kelompok
"salafy", hingga orang awam dan orang yang tidak shalat pun mendapatkan,
lalu ikut-ikutan mentahdzir du’at tersebut. Anehnya, merasa diri lebih baik daripada du’at yang ditahdzir, kendati shalat mereka belum beres !!.
Di Kendari pun demikian, seorang Ustadz –alhamdulillah,
masih hidup dan bisa dikonfirmasi setiap saat-, kala berpapasan dengan
salah seorang murid tarbiyah "salafy" dan mengucapkan salam, dijawab
dengan jawaban: "Laa ya akhi, ana ahlul haq wa anta ahlul Batil ??!!".
Dan
masih banyak dan banyak lagi, kasus-kasus serupa yang terjadi di tanah
air, yang jika dikumpulkan cukup untuk membuat berjilid-jilid buku. Wallahul musta'an.
Fenomena menyedihkan ini sengaja kami singgung di sini, agar para
asatidzh kelompok "salafy" sadar dan introspeksi diri, ada apa dengan
manhaj tarbiyah mereka terhadap anak-anak muda tersebut? Boleh saja
dalam tataran para asatidzah tidak terlalu bermasalah, sebab mereka
memiliki bekal ilmu syar'i, namun bagaiman dengan anak-anak muda yang
baru belajar baca al-Qur'an lalu dengan seenaknya mengaplikasikan apa
yang mereka pahami dari pengajian dan muhadharah ustadz-ustadz
"salafy"-nya? Sayangnya para asatidzah dan Masyaikh panutan kelompok
"salafy" itu hanya berada di atas menara gading, dan tidak mengetahui
hakikat yang memiriskan ini. Seandainya mereka tahu, sungguh mereka akan
bergidik dan menangis …sebab Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda: "Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka baginya dosa
(dari perbuatan tersebut) dan dosa orang yang mengikutinya….".
[8] . Dan ini yang paling dominan dalam kelompok "salafy". Mudah bertikai dan berpecah hanya lantaran perbedaan dalam masalah furu'iyyah dan bukan usuliyyah. Intinya, hal ini telah menjadi semacam sebuah kaidah yang berlaku di antara mereka, "In lam Takun Ma'ii', fa Anta 'aduwwun lii", (jika anda tidak bersama saya, maka anda adalah musuh bagiku). Olehnya, perhatikan wahai ihkwah, sejak
awal kemunculan fikrah "salafy" hingga hari ini, kita melihat begitu
mudahnya mereka saling menyerang dan saling menyesatkan antara mereka.
Padahal sebelumnya berada dalam satu shaff. Kami tidak ingin bicara
dalam skala tanah air, dalam skala Makassar saja begitu nampak dan
banyak pecahan-pecahan "salafy" yang masing-masing menganggap diri
paling salafy dan paling ahli sunnah. Realita akan kenyataan miris ini
begitu amat nyata, bagaikan matahari hingga tak ada seorang-pun yang
mengingkarinya. Dan berita paling hangat saat ini adalah tahdzir (perpecahan) Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhaly –hafidzhullah- terhadap Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid al-Atsary –hafidzahullah-
murid senior Syaikh Nashiruddin al-Albany yang juga selama ini menjadi
mercusuar dakwah salaf di tanah air dan pernah berpolemik panjang dengan
Lajnah Daimah (Komisi Tetap Fatwa dan Penerangan) Saudi Arabiyah dalam
masalah iman. Makanya, sangat terbukti nasehat sebagian para masyaikh
yang mencegah kami menyibukkan diri dalam masalah ini, dan menyatakan
bahwa antum akan lihat gerakan "salafy" ini, jika tidak ada lagi di
hadapan mereka yang dapat dimakan (diserang), maka mereka akan saling
memakan di antara mereka sendiri. Pertanyaannya, sampai dan kapan akan
berakhir hal ini? Bukankah Islam dan manhaj Ahlu Sunnah menyeru
persataun dan mencegah perpecahan? Wallahul musta'an.
[9] . Tatkala Fadhilatus Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid (Anggota Hai'ah Kibarul Ulama dan termasuk ulama paling terpandang dalam jajaran Kibarul Ulama di Saudi Arabiyah) menulis sebuah buku berharga berjudul Tashnifun Naas Baina ad-Dzon wa al-Yaqin,
yang tenyata sangat tidak sejalan dengan hawa nafsu kelompok "salafy"
ini, maka semisal Ust. Abdul Qadir datang sambil menukil ucapan Syaikh
Muqbil bin Hadi al-Wadi'i yang mengatakan: "(buku ini) teranggap sebagai sesuatu yang paling jelek beliau tulis…".
Ma'adzallah. Kami bukan membela pribadi penulisnya, tapi silahkan antum
membaca isi dari buku yang sangat berharga tersebut, lalu bandingkan
dengan ucapan tendensius ini. Dan perlu antum ketahui, Syaikh al-Allamah
Bakr Abu Zaid –rahimahullah- termasuk ulama yang terkenal
produktif melahirkan karya-karya berkualitas. Hingga tidak berlebihan
jika kita mengatakan, bahwa tidak ada karya yang beliau lahirkan
melainkan memiliki kualitas tinggi. Olehnya, Syaikh al-Allamah Faqihul
Ashr Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah- pun sempat memberi
syarah terhadap salah satu karya beliau (pada saat Syaikh Bakr masih
hidup), yakni Syarah Hilyah Thalibil Ilmi. Lantas kemudian,
datang sebuah ungkapan yang sangat tendensius bahwa karya beliau
tersebut adalah yang terjelek yang penah beliau tulis !!??. Dan kita pun
tahu apa indikasi dari ucapan tersebut terhadap penulisnya sendiri
–yakni Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid –rahimahullah-. Demikian
pula dapat kami katakan, bahwa siapa yang menempatkan Syaikh Muqbil bin
Hadi al-Wadi'i (bersama dengan kemuliaan dan ilmu beliau) sebagai
penimbang dan penentu hukum bagi karya Fadhilatus Syaikh Bakr Abu Zaid,
yang kemudian digunakan sebagai mizan oleh kelompok "salafy" untuk
mendiskreditkan karya berharga beliau tersebut? Padahal, apa yang beliau
paparkan dalam buku tersebut merupakan manhaj para ulama Ahlu Sunnah
Mu'tabar zaman ini, seperti al-Allamah Syaikh Abdul Aziz bin Baz,
al-Allamah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, al-Allamah
al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Allamah Abdur Rahman
al-Jibrin, al-Allamah Abdul Aziz Alu Syaikh mufti Saudi Arabiyah saat
ini, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin kami sebutkan di sini. Dan
yang menjadi kekhawatiran kami, jangan sampai fatwa-fatwa Kibarul Ulama
semisal Samahatus Syaikh al-Allamah Abdul Aziz Baz, Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, al-Allamah Abdur Rahman al-Jibrin, dan selainnya
yang tidak sejalan dengan hawa nafsu mereka, lalu dikatakan pula sebagai
fatwa terjelek yang pernah dikeluarkan –semoga saja tidak demikian
adanya-…wallahul musta'an.
[10] .
Karena manhaj ini-lah maka kita dapati kelompok "salafy" begitu
mudahnya bertikai dan berantem di antara mereka. Seorang itu ditimbang
melalui kesalahan-kesalahan yang ia buat, dan bukan kebaikan yang ada
pada dirinya. Padahal semua mengakui bahwa tidak ada yang bebas dari
dosa melainkan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan siapa yang mengharap teman tanpa aib dan dosa, niscaya ia tidak akan mendapati kawan hingga selamanya.
[11] . Sebagai contoh dan masih banyak contoh yang lain, dan sebenarnya telah kami paparkan pada artikel Silsilah Pembelaan para Ulama dan Du'at: (1). Kala mereka menuding Syaikh Dr. Safar al-Hawali –hafidzahullah-
sebagai pemberontak dan sebagainya lantaran fatwa beliau bertentangan
dengan Fatwa Majelis Ulama Saudi dalam masalah izin masuk bagi tentara
Amerika di semenanjung Arabiah dan mendirikan pangkalan militer di sana,
padahal pendapat beliau sejalan dengan pendapat Syaikh al-Allamah
al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah- juga isyarat dari Syaikh al-Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan, -hafidzahullah-,
namun anehnya yang dicela habis-habisan hanya Syaikh Dr. Safar
al-Hawaly dan tidak bagi kedua Syaikh selain beliau. (2). Demikian pula
celaan mereka terhadap para ulama seperti Dr. Safar al-Hawali, Dr.
Salman dan selain mereka, lantaran mereka menentang pemerintah Saudi
(itu kala benar tuduhan mereka), hingga pantas dikategorikan sebagai
khawarij pemberontak, padahal perbuatan yang sama pun (bahkan lebih
keras lagi) dilakukan oleh al-Allamah Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'y
–rahimahullah- (yang akhirnya beliau ruju' dan bertaubat), anehnya
tudingan sesat pemberontak hanya dibidikkan pada Syaikh Dr. Safar, Dr.
Salman dan selainnya dan tidak pada Syaikh Muqbil. (3). Kala menuding
Dr. Safar, Dr, Salman, Syaikh Abdul Rahman Abdul Khaliq sebagai ahli
bid'ah lantaran membela kehormatan orang-orang yang berjasa bagi Islam
ini, semisal Sayyid Qutub –rahimahullah-, padahal dalam waktu
yang sama Syaikh Abdur Rahman al-Jibrin, Syaikh al-Muhaddits Muhammad
Nashiruddin al-Albani, al-Allamah Abdullah bin Qu'ud dan banyak lagi
ulama-ulama kibar mu'tabar juga mengeluarkan pernyataan yang sama.
Anehnya, yang dicerca hanya kelompok ulama pertama dan tidak untuk
kelompok kedua. (4). Masalah kekeliruan Syaikh Dr. Safar al-Hawali masal
lalu, yang kemudian telah beliau klarifikasi dan bantah di hadapan
al-Allamah Syaikh Ibnu Utsaimin, tetap dan terus diungkit-ungkit oleh
kelompok Syaikh Rabi' dan "salafy", sementara masa silam Syaikh Rabi'
yang pernah menjadi anggota aktif dan menjadi tokoh Ikhwanul Muslimin
selama 13 tahun tidak pernah disentuh-sentuh…dan masih banyak lagi
pembaca budiman, tanaqhudhaat (pertentangan-perentangan) dalam
manhaj "salafy" ini, dikarenakan adanya standar ganda dalam manhaj
tersebut. Jadi yang dimaksud dengan dua timbangan dalam poin di atas
adalah "timbangan buat orang-orang kuat" dan "timbangan buat orang-orang
lemah". Dan kami hanya mengatakan, ma'adzallah, maa lakum kaifa tahkumun ?
[12] . Tatkala Iyas bin Mu'awiyah –rahimahullah-
menyaksikan seseorang yang menggibah saudara muslim-nya, beliau pun
bertanya: "Apakah engkau pernah berperang melawan Romawi?" Ia menjawab:
"Tidak". "Apakah engkau pernah memerangi As Sind, India dan Turki". Ia
menjawab: "Tidak". Beliau –Iyas bin Mu'awiyah- lantas berkata: "Selamat dari-mu Romawi, as-Sind,,India dan Turki namun tidak selamat dari –kejelekan lisanmu- saudara muslim-mu". (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, IX/336. Program al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3)
[13] . Al-Jawabul Kafiy Liman Saala an ad-Dawaai asy-Syafi, hal 111. al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3.
jasakumullah khairan
BalasHapus