“Sesungguhnya yang selamat agamanya hanyalah orang yang pasrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, mengembalikan ilmu dari sesuatu yang belum jelas baginya
kepada orang yang mengetahuinya. Sesungguhnya Islam berpijak diatas pondasi peyerahan diri dan kepasrahan.”
Dengan matan ini Imam
Abu Ja’far Ath-Thahawiy menegaskan bahwa keislaman seseorang tidak akan benar
–meskipun dia mengucapkan dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat, membayar
zakat, berpuasa pada bulan ramadhan dan menunaikan haji ke baitullah- kecuali
jika di hatinya ada taslim dan kesanggupan untuk berittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejatinya
taslim adalah manifestasi syahadat tauhidnya. Syahadat untuk hanya tunduk, taat
dan patuh beribadah kepada Allah azza wa jalla
saja. Sedangkan ittiba’ sejatinya adalah manifestasi syahadat risalahnya.
Syahadat untuk hanya mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa menimbang-nimbangnya lagi dengan
akal dan perasaannya.
Hakekat
Taslim
Taslim atau istislam adalah tunduk, taat dan
menerima apa saja yang datang dari Allah azza
wa jalla dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Apa saja yang datang baik itu berupa perintah maupun
larangan, tidak ada yang ditentang. Perintah dilaksanakan sebatas maksimal
kemampuan dan larangan dijauhi. Semua
dimanifestasikan secara lahir-batin.
Allah subuhanahu wa ta’ala berfirman,
“Maka demi Rabb-Mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak mendapati di dalam hati meraka suatu keberatan terhadap putusan
yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)
Keputusan Allah dan
Rasul-Nya adalah yang terbaik, meskipun terkadang terasa berat dan tidak enak.
Pun Allah azza wa jalla telah
mengatakan kepada kita,
“...boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Allah Maha Mengetahui
apa yang terbaik bagi kita. Dalam setiap ketetapan-Nya ada hikmah yang dalam.
Hikmah yang boleh jadi tidak kita
ketahui. Baik kiranya kita merenungkan pernyataan Muhammad bin Shyihab Az-Zuhry
berikut ini: “Risalah datang dari Allah
‘azza wa jalla. Rasul bertugas menyampaikan dan kita berkewajiban untuk
menerima.”
Hakekat
Ittiba’
Ittiba’ adalah
mengikuti Nabi shallallahu ‘alahi
wasallam. Beliau adalah utusan Allah subuhanahu
wa ta’ala yang paling tahu tentang maksud Allah subuhanahu wa ta’ala yang tersurat maupun yang tersirat dalam
kalam-Nya. Karenanya para salaful ummah
sepakat jika tidak ada ayat al-Qur’an yang makna dan maksudnya melainkan
semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, maka tidak ada seorang pun yang boleh membantahnya. Semua
mesti mengikuti petunjukkanya. Inilah hakekat ittiba’. Sesuatu yang akan
mengantarkan kita pada mahabbatullah.
Allah azza wa jalla,
berfirman,
“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, berittiba’lah
kepadaku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali-Imran: 31)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,”Aku beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan
apa yang ada di dalam Kitabullah sebagaiamana dikehendaki oleh Allah ‘azza wa jalla. Dan aku
beriman kepada Rasullullah dan apa saja yang datang dari-Nya sesuai dengan yang
dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Kuamati Mushhaf dan kudapati
perintah untuk menaati Rasulullah ada 33 tempat.” Kemudian beliau membaca,
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa
fitanh atau adzab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63) Imam Ahmad mengulang-ulangi
ayat itu. Kemudian beliau ditanya, apakah yang dimaksud fitnah? Beliau menjawab
bahwa fitnah itu syirik, ialah jika seseorang menolak sebagian perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa jadi
di hatinya ada sedikit penyimpangan sehingga hatinya menyimpang dan celakalah
dia.
Imam Ahmad rahimahullah juga pernah diberitahukan
adanya orang-orang yang menomorduakan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memilih pendapat Sufyan bin
‘Uyainah. Beliau berkata, “Saya
heran dengan adanya orang-orang yang
mendengar hadits , mengetahui isnad, dan keshahihannya namun dia meninggalkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memilih pendapat Sufyan bin Uyainah
dan yang lain padahal Allah Subuhanahu Wa Ta’ala telah berkalam, “Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa fitanh atau
adzab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
Waspadai
Perayaan Orang Kafir yang Dapat Mengikis Taslim dan Ittiba’mu!
Saat ini kita
menghadapi fitnah (ujian) dengan perayaan orang-orang kafir (Natal, Tahun Baru,
dll), maka waspadalah! Jangan sampai kita terjebak dan tasyabbuh
(ikut-ikutan/latah) dengan euvoria mereka termasuk dalam perkara-perkara kecil
seperti mengucapkan selamat kepada mereka. Sebab barangsiapa yang mengikuti
selain Allah dan Rasul-Nya, berarti ia mengikuti kebatilan. Ingat, kembalikan
pada al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
Allah subuhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang beriman janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan
Nasrani sebagai teman setia(mu), mereka satu sama lain saling melindungi.
Barangsiapa diantara kamu menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya
mereka termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang zalim.” (QS.Al-Maidah: 51)
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang
tidak pernah kami perintahkan maka perbuatan itu tertolak.” (Muttafaqun
‘alaih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga
bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum maka dia bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud, dan
dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Rasulullah juga
bersabda, “Apa-apa yang aku larang maka
jauhilah dia dan perkara apapun yang aku perintahkan maka kerjakanlah sebatas
kemampuanmu.”(HR. Bukhari Muslim)
Semoga Allah melindungi
kita dari makar orang-orang kafir dan meneguhkan hati kita untuk bangga dengan
Islam.
Wallahu
Muwaffiq
Ibnu Mai al-Buthony as-Siompuny
Tidak ada komentar:
Posting Komentar