Kamis, 07 Februari 2013

Sedikitnya Teman Perjalanan, Harga sebuah Kemuliaan



Suatu kali, Umar bin Khathab radhiallahu ánhu mendengar seseorang berdoá, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit (minoritas). “Beliau bertanya, “Wahai hamba Allah, apa yang kamu maksud dengan golongan minoritas?”

Orang itu menjawab, “Saya menyimak firman Allah, “Dan tidak beriman bersama denga Nuh itu kecuali sedikit.”(QS. Hud: 40), juga firman-Nya, “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”(QS. Saba’: 13). Kemudian orang itu menyebutkan beberapa ayat lagi. Lalu Umar berkata “Setiap orang memang lebih faqih dari Umar”.

Fragmen ini menjadi pelajaran bagi kita, bahwa untuk meraih derajat yang tinggidan mulia, harus bersiap menempuh jalan yang sepi dari teman. Karena orang kebanyakan tidak sanggup menempuh puncak ketinggian. Derajat muslim hanya disandang sebagian kecil total penduduk bumi yang luas ini. Di antara sekian banyak muslim, hanya sebagian kecil yag menduduki peringkat mukmin. Dan di antara sekian banyak mukmin, hanya sedikit sekali yang mampu meraih derajat muhsin. Dan begitulah, makin tinggi tujuan, makin sedikit teman perjalanan.

Menyadari Konsekuensi Pilihan

Orang yang memiliki cia-cita tinggi dan mulia, harus menyadari pilihan ini. Ia sama sekali tidak terpengaruh atau larut oleh suara kebanyakan. Tidak juga terwarnai oleh tradisi yang sudah menjadi hegemoni. Baginya, itu bukanlah ukuran. Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata. “Tempuhlah jalan kebenaran, janganlah merasa kesepian dengan sedikitnya teman perjalanan.

Fudhail bin Iyadh rahimahullah juga berkata, “Berpeganglah pada jalan hidayah, jangan ragu akan sedikitnya orang yang menempuh jalannya. Jauhilah jalan kesesatan dan jangan tertipu oleh banyaknya jumlah orang yang bergabung bersama mereka.”

Begitulah semestinya sikap kita dalam memegangi kebenaran, demikian pula usaha kita dalam meraih cita-cita. Bukankah orang yang masuk jannah tanpa hisab lebih sedikit dari penghuni jannah yang lain? Bukankan pemimpin dalam agama lebih sedikit dari pada jumlah makmum yang dibelakangnya?

Jika ingin sukses dengan tingginya capaian ilmu dan amal, jangan menjadikan kebiasaan awwam sebagai ukuran. Jika usaha kita setara dengan orang kebanyakan, kita baru bisa dikatakan sebagai sembarang orang, belum mencapai kedudukan ‘bukan orang sembarangan’.

Ibnu Masúd memberi nasehat kepada penyandang al-Qurán agar berbeda dengan umumnya orang, “Sudah sepantasnya bagi penyandang al-Qurán menghidupkan malamnya disaat manusia tidur, shaum (puasa) di siang hari disaat manusia berbuka, menunjukkan kesedihannya saat manusia bersenang-senang, menangis disaat manusia tertawa, diam saat manusia banyak bicara, khusyu’saat manusia tampak kesombongannya.”

Bahkan Allah juga mengingatkan kepada para Istri Nabi agar menjaga kemuliaan mereka dengan tidak menerupai orang awwam dalam berkata dan berbuat. Tidak sepantasnya mereka meniru wanita lain, dan justru kaum wanitalah yang seharusnya menjadikan mereka sebagai panutan. Allah subuhanahu wa taála berfirman,

Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.”(QS. Al-Ahzaab: 32)

Ibnu Katsier rahimahullah berkata, “bahwa jika mereka bertakwa kepada Allah subuhanahu wa taála sebagaimana yang Allah perintahkan, maka tidak ada wanita yang menyerupai mereka, tidak ada waita yang mampu menandingi kemuliaan dan kedudukan mereka.”

Menepis Rasa Keterasingan

Menggapai kedudukan tinggi memang harus siap menjadi manusia langka, orang asing dan beda dari yang lain. Adalah manusiawi jika terkadang dia merasa kesepian. Untuk menepis rasa ini, kita bisa bergabung dalam kafilah (kelompok) orang-orang yang jauh keutamaannya di atas kita, meski mereka hidup di zaman sebelum kita . seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Mubarak rahimahullah takkala diajak mengobrol usai shalat beliau menjawab. Äku ingin segera bergabung bersama para sahabat dan para tabiín . aku ingin membaca kitab dan mencatat perkataan mereka. Sedangkan bila aku nongkrong bersama kalian, apa yang bisa kudapatkan?”

Ini semisal dengan wejangan sebagian salaf yang disebutkan Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam Madaarijus Saalikin, “Jika suatu kali kamu merasa kesepian karena sedikitnya teman, maka lihatlah teman perjalanan yang telah berada di depan, berusahalah untuk menyusul mereka. Janganlah pandangannmu terpaku kepada selain mereka (yang lebih lambat dari jalanmu), karena hal itu tak akan berguna bagimu di sisi-Nya. Jika mereka menyruhmu untuk melambatkan jalanmu, janganlah menoleh kepada mereka. Karena sekali saja kamu menoleh, mereka bisa mengejarmu. Seperti perumpamaan kijang dan serigala. Hanya saja tabiat kijang selalu menoleh begitu merasakan sesuatu, dan itu akan memperlambat jalannya. Maka serigala pun dapat menangkapnya, karena dia hanya fokus dengan apa yang menjadi tujuannya.

Begitulah semestinya pemburu derajat muli yang sebenarnya. Selalu fokus dengan cita-cita yang mulia. Lingkungan ataupun kondisi umumnya manusia yang suka berlambat dan leha-leha semestinya tidak menghambat laju geraknya. Sebagaimana realisasi dari riwayat Nabi shallallahu álaihi wasallam,

Bersungguhlah melakukan apa yag bermanfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa lemah.”(HR. Muslim)

Tingkat kegigihan, ketegaran dalam menghadapi segala rintangan, dan optimisme dalam menjawab semua tantangan harus di atas rata-rata umumnya orang. Waktu belajarnya, melebihi waktu belajar orang-orang dan tingkat pengorbanannya melebihi pengorbanan orang-orang sembarangan. Inilah harga yang harus dibayar untuk sebuah kemuliaan, wallahu muwaffiq. 

(Abu Umar Abdillah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar