Suatu kali, Umar bin
Khathab radhiallahu ánhu mendengar
seseorang berdoá, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit
(minoritas). “Beliau bertanya, “Wahai hamba Allah, apa yang kamu maksud dengan
golongan minoritas?”
Orang itu menjawab,
“Saya menyimak firman Allah, “Dan tidak
beriman bersama denga Nuh itu kecuali sedikit.”(QS. Hud: 40), juga
firman-Nya, “Dan sedikit sekali dari
hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”(QS. Saba’: 13). Kemudian orang itu
menyebutkan beberapa ayat lagi. Lalu Umar berkata “Setiap orang memang lebih faqih dari Umar”.
Fragmen ini menjadi
pelajaran bagi kita, bahwa untuk meraih derajat yang tinggidan mulia, harus
bersiap menempuh jalan yang sepi dari teman. Karena orang kebanyakan tidak
sanggup menempuh puncak ketinggian. Derajat muslim hanya disandang sebagian
kecil total penduduk bumi yang luas ini. Di antara sekian banyak muslim, hanya
sebagian kecil yag menduduki peringkat mukmin. Dan di antara sekian banyak
mukmin, hanya sedikit sekali yang mampu meraih derajat muhsin. Dan begitulah,
makin tinggi tujuan, makin sedikit teman perjalanan.
Menyadari
Konsekuensi Pilihan
Orang yang memiliki
cia-cita tinggi dan mulia, harus menyadari pilihan ini. Ia sama sekali tidak
terpengaruh atau larut oleh suara kebanyakan. Tidak juga terwarnai oleh tradisi
yang sudah menjadi hegemoni. Baginya, itu bukanlah ukuran. Sufyan bin Uyainah
rahimahullah berkata. “Tempuhlah jalan
kebenaran, janganlah merasa kesepian dengan sedikitnya teman perjalanan.”
Fudhail bin Iyadh
rahimahullah juga berkata, “Berpeganglah
pada jalan hidayah, jangan ragu akan sedikitnya orang yang menempuh jalannya.
Jauhilah jalan kesesatan dan jangan tertipu oleh banyaknya jumlah orang yang
bergabung bersama mereka.”
Begitulah semestinya
sikap kita dalam memegangi kebenaran, demikian pula usaha kita dalam meraih
cita-cita. Bukankah orang yang masuk jannah tanpa hisab lebih sedikit dari
penghuni jannah yang lain? Bukankan pemimpin dalam agama lebih sedikit dari
pada jumlah makmum yang dibelakangnya?
Jika ingin sukses
dengan tingginya capaian ilmu dan amal, jangan menjadikan kebiasaan awwam
sebagai ukuran. Jika usaha kita setara dengan orang kebanyakan, kita baru bisa
dikatakan sebagai sembarang orang, belum mencapai kedudukan ‘bukan orang sembarangan’.
Ibnu Masúd memberi
nasehat kepada penyandang al-Qurán agar berbeda dengan umumnya orang, “Sudah
sepantasnya bagi penyandang al-Qurán menghidupkan malamnya disaat manusia
tidur, shaum (puasa) di siang hari disaat manusia berbuka, menunjukkan
kesedihannya saat manusia bersenang-senang, menangis disaat manusia tertawa, diam
saat manusia banyak bicara, khusyu’saat manusia tampak kesombongannya.”
Bahkan Allah juga
mengingatkan kepada para Istri Nabi agar menjaga kemuliaan mereka dengan tidak
menerupai orang awwam dalam berkata dan berbuat. Tidak sepantasnya mereka
meniru wanita lain, dan justru kaum wanitalah yang seharusnya menjadikan mereka
sebagai panutan. Allah subuhanahu wa taála berfirman,
“Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa.”(QS. Al-Ahzaab: 32)
Ibnu Katsier rahimahullah berkata, “bahwa jika mereka bertakwa kepada Allah
subuhanahu wa taála sebagaimana yang Allah perintahkan, maka tidak ada wanita
yang menyerupai mereka, tidak ada waita yang mampu menandingi kemuliaan dan
kedudukan mereka.”
Menepis
Rasa Keterasingan
Menggapai kedudukan
tinggi memang harus siap menjadi manusia langka, orang asing dan beda dari yang
lain. Adalah manusiawi jika terkadang dia merasa kesepian. Untuk menepis rasa
ini, kita bisa bergabung dalam kafilah (kelompok) orang-orang yang jauh keutamaannya
di atas kita, meski mereka hidup di zaman sebelum kita . seperti yang dilakukan
oleh Abdullah bin Mubarak rahimahullah takkala diajak mengobrol usai shalat
beliau menjawab. Äku ingin segera
bergabung bersama para sahabat dan para tabiín . aku ingin membaca kitab dan
mencatat perkataan mereka. Sedangkan bila aku nongkrong bersama kalian, apa
yang bisa kudapatkan?”
Ini semisal dengan
wejangan sebagian salaf yang disebutkan Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah
dalam Madaarijus Saalikin, “Jika suatu kali
kamu merasa kesepian karena sedikitnya teman, maka lihatlah teman perjalanan
yang telah berada di depan, berusahalah untuk menyusul mereka. Janganlah
pandangannmu terpaku kepada selain mereka (yang lebih lambat dari jalanmu),
karena hal itu tak akan berguna bagimu di sisi-Nya. Jika mereka menyruhmu untuk
melambatkan jalanmu, janganlah menoleh kepada mereka. Karena sekali saja kamu
menoleh, mereka bisa mengejarmu. Seperti perumpamaan kijang dan serigala. Hanya
saja tabiat kijang selalu menoleh begitu merasakan sesuatu, dan itu akan
memperlambat jalannya. Maka serigala pun dapat menangkapnya, karena dia hanya
fokus dengan apa yang menjadi tujuannya.”
Begitulah semestinya
pemburu derajat muli yang sebenarnya. Selalu fokus dengan cita-cita yang mulia.
Lingkungan ataupun kondisi umumnya manusia yang suka berlambat dan leha-leha
semestinya tidak menghambat laju geraknya. Sebagaimana realisasi dari riwayat
Nabi shallallahu álaihi wasallam,
“Bersungguhlah melakukan apa yag bermanfaat untukmu dan mohonlah pertolongan
kepada Allah dan jangan merasa lemah.”(HR. Muslim)
Tingkat kegigihan,
ketegaran dalam menghadapi segala rintangan, dan optimisme dalam menjawab semua
tantangan harus di atas rata-rata umumnya orang. Waktu belajarnya, melebihi
waktu belajar orang-orang dan tingkat pengorbanannya melebihi pengorbanan
orang-orang sembarangan. Inilah harga yang harus dibayar untuk sebuah
kemuliaan, wallahu muwaffiq.
(Abu Umar Abdillah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar