Adalah
Abdulloh bin Rowahah radhiallahu 'anhu, seorang sahabat yang ketika diangkat oleh
Rosululloh shallallahu 'alaihi wasallam menduduki sebuah jabatan panglima dalam perang Mu’tah, Ia
menerimanya dengan tangis dan cucuran air mata. Lalu para sahabat
lainnya bertanya : “Maa yubkika ya… Abdalloh…” (Apa gerangan yang membuat engkau menangis wahai Abdulloh…), Iapun menjawab : “Wa
maa bia hubbuddunya walaa shabaabatan bikum walaakin tadzakkartu hina
dzakaranii Rosulullohu biqoulihi ta’ala : Wa in minkum illaa waariduhaa
kaana alaa Rabbika Hatman Maqdhiyya” (Tidak ada pada diriku cinta
dunia dan keinginan untuk dielu-elukan oleh kalian, akan tetapi aku
hanya teringat ketika Rosululloh mengingatkanku dengan firman Alloh subuhanahu wa ta'ala :
“Dan tidaklah dari kalain melainkan akan mendatanginya (neraka
jahannam) adalah yang demikian itu bagi Tuhanmu (ya! Muhammad) merupakan
ketentuan yang telah ditetapkan”. (QS. Maryam : 71).
Dari
ungkapan Abdulloh bin Rowahah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
beliau mentadabburkan ayat al-qur’an begitu dalam, sehingga beliau
mengaitkan erat ayat tersebut dengan amanah jabatan yang baru saja
dipangkuanya, apakah jabatannya kelak dapat menyelamatkannya ketika
masing-masing orang mau tidak mau harus melewati “Shirothol Mustaqim”, karena menghadapi neraka Jahannam dengan melewatinya adalah “HatmanMaqdhiyya”, ketentuan yang telah ditetapkan, tidak ada jalan alternatif lain dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
“Hatman Maqdhiyya”
juga berlaku dalam kaidah Tarbiyah sebagai sebuah proses dalam proyek
kebangkiatan umat dan pembangunan peradaban, oleh karenanya Tarbiyah
memiliki sifat “Hatmiyyah”, sifat keniscayaan, dengan kata lain bahwa Tarbiyah suatu keniscayaanTarbiah!. Karena Tarbiyah
adalah jalan yang dikehendaki oleh Alloh subuhanahu wa ta'ala untuk diikuti ( QS. 6 :
153 ), dalam rangka melahirkan kader-kader generasi Rabbani
(Generasi-generasi yang tertarbiyah) yang senantiasa antusias
mengajarkan Al-qur’an dan mempelajarinya ( QS. 3 : 79). adala sebuah
keharusan, atau ketentuan yang harus dipenuhi, konsekwensi yang harus
dijalankan, tidak dapat ditawar dan tidak bisa tergantikan dengan
apapun. Walhasil untuk dapat istiqomah di jalan da’wah serta mencapai
target dan sasarannya, hanya ada satu jalan :
Tarbiyah suatu keniscayaan dalam prosesnya dapat dilakukan minimal dengan tiga pendekatan, idealis, taktis dan operasional.
Pendekatan Idealis
Tarbiyah
adalah jalan bagi para da’i Islam, tidak ada jalan lain, atau dengan
kata lain jalan para da’i adalah jalan tarbawi yang memiliki paling
sedikit tiga karakter mendasar.
Pertama: Sulit tapi hasilnya paten (Sha’bun - Tsabit )
Sulitnya
sebuah proses biasanya membuahkan hasil yang berkualitas, oleh karena
itu proses da’wah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, bukanlah perkara
yang mudah, bayangkan, lima tahun pertama dalam da’wahnya di Mekkah baru
hanya terkumpul “Arba’una rajulan wa khamsu niswatin” (40 laki-laki dan
5 wanita), akan tetapi ke 45 orang inilah yang kemudian menjadi ujung
tombak da’wah, yang tidak hanya “Qaabilun lidda’wah” tetapi juga
“Qaabilun litthagyir”, bahkan mereka seluruhnya menjadi
“Anashiruttaghyir”, “Agen of change”, agen perubahan sosial dari
masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang islami.
Berda’wah
memang tidak mudah, karena berda’wah melalui proses tarbiyah ibarat
menanam pohon jati, yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara sehingga
akarnya tetap kuat menghunjam dan tidak goyah diterpa badai dan angin
kencang, oleh karena itu jalan tarbawi adalah proses menuju pembentukan
pribadi yang paten, atau dengan kata lain memiliki “matanah” (imunitas)
baik secara “ma’nawiyah” (moralitas), “fikriyah” (gagasan dan pemikiran)
dan “Tandzhimiyah” (struktural).
Ka’ab
bin Malik radhiallahu 'anhu. Adalah salah satu contoh dari sebuah kepribadian yang
paten, yang dengan kesadaran ma’nawiyah, fikriyah dan tandhimiyahnya, Ia
mengakui kelalaiannya tidak turut serta dalam perang Tabuk, dan
kemudian iapun dengan ikhlas menerima ‘uqubah (sanksi) yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam. Bahkan ketika datang utusan dari
kerajaan Ghassan yang secara diam-diam menemuinya untuk menyampaikan
sepucuk surat dari raja Ghassan yang isinya antara lain suaka poltik dan
jabatan penting telah tersedia untuknya bila Ia mau eksodus, Ia malah
berkata seraya merobek surat tersebut:“Ayyu Mushibatin Hadzihi” (Musibah
apa lagi ini..!)
Itulah
sebuah refleksi dari sikap matanah yang hanya bisa dihasilkan melalu
proses tarbiyah yang tidak mudah, melalui jalan da’wah yang terkonsep
secara paten, Al-Qur’an menyebutnya dengan “Al-Qaulu Al-Tsabit” [QS.
Ibraih (14): 27 ], yang terumuskan di atas konsep yang baik atau
“Kalimat Thayyibah” bukan “kalimat khabitsah” [QS. Ibraih (14): 25 - 26
).
Kedua: Proses yang Panjang tetapi terjaga kemurniannya (Thawil - Ashil)
Da’wah
adalah perjalan panjang, perjalan yang dilalui tidak hanya oleh satu
generasi, bahkan untuk dapat mencapai target dan sasaran jangka
panjangnya membutuhkan beberapa generasi, Ingatlah ketika Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam
mengayunkan palu memecahkan bebatuan parit Khandaq, ada percikan apa
keluar dari sela-sela hantaman palu dan batu memercik ke arah timur,
lalu beliau mengisyaratkan bahwa umatnya kelak akan dapat menaklukan
Romawi (Byzantium). Padahal Romawi baru dapat di Taklukan oleh umat
Islam pada masa daulah Utsmaniyah sekian abad sesudahnya, berapa
generasi yang telah telampaui dan berapa panjang perjalanan da’wah yang
telah dilalui? Akan tetapi ikhwah fillah betapaun telah melewati sekian
banyak generasi, “Ashalah” tetap terjaga, “Hammasah” tetap terpelihara,
Islam yang sampai ke Romawi adalah Islam sebagaimana yang dijalankan
oleh generasi pertamanya yaitu Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam dan Para sahabat
Radhiallahu ‘anhum wa radhuu’anhu.
Kepribadian
yang ashalah adalah keperibadian yang telah teruji dengan panjangngnya
mata rantai perjalan da’wah, keperibadian yang hammasah adalah
kepribadian yang tak lekang kerena ‘panas’ dan tak lapuk karena ‘hujan’,
sebagai ujian dan cobaan dalam perjalanan da’wah.
Adalah
Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu 'anhu, salah seoarang sahabat yang Allah subuhanahu wa ta'ala berikan
kepadanya umur yang panjang, sehingga beliau masih hidup pada masa
kekhalifahan Utsman radhiallahu anhu, beliau yang saat itu usianya sudah renta, ketika
ada seruan jihad maritim, mengarungi lautan menuju perairan Yunani
untuk menghadapi pasukan Romawi, seruan jihad berkumandang melalui
lantunan ayat-ayat Al-Qur’an “Infiruu khifafan wa tsiqaalan”
(berangkatlah kalian dalam keadaan ringan maupun berat), lalu
anak-anaknya berkata kepadanya: “Sudahlah Ayah tak usah ikut berperang,
cukuplah kami saja yang masih muda yang mewakili Ayah di medan perang,”
dengan kecerdasan menafsirkan ayat tersebut dibarengi dengan
pembawaan“Hikmatussuyukh Hammasatussyabab” Abu Ayyub menjawab, “Tidak
bisa, ayat tersebut telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin baik
yang tua maupun yang muda, karena ayat tersebut menyebutkan “khifafan”
(ringan) berarti ditujukan untuk kalian yang masih muda dan “tsiqalan”
ditujukan untuk yang sudah tua. Maka anak-anaknya pun tak dapat
membendung tekad sang ayah. berangkatlah Abu Ayyub Al-Anshary turut
serta dalam peperangan tersebut dan Iapun menemui syahadahnya.
Adalah
Saad bin Abi Waqqash radhiallahu 'anhu, yang telah menggoreskan kesaksian perjalan
da’wah dengan kepribadian yanga ashalah yang tidak berubah karena
perubahan situasi dan zaman, dari masa-masa yang penuh dengan kesulitan
dan penderitaan hingga masa-masa yang penuh dengan kemudahn dan
kesenangan, mengenang semua itu beliau berkata : “Aku adalah salah satu
dari 7 orang sahabat (dari 10 sahabat yang dijanjikan masuk surga),
dahulu kami bersama Rasulllah shallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah ekspedisi, kami tidak
memiliki makanan, sehingga kami makan daun-daunan sampai perih
tenggorokan kami, akan tetapi sekarang kami yang tujuh orang ini
seluruhnya menjadi gubernur di beberapa daerah, maka kami berlindung
kepada Allah subuhanahu wa ta'ala agar tidak menjadi orang yang merasa besar di
tengah-tengah manusia tetapi menjadi kecil di sisi Allah subuhanahu wa ta'ala”.
Ketiga : Lambat tapi hasilnya terjamin (Bathi’ - Ma’mun)
Da’wah
adalah lari estafet bukan sprint, untuk itu diperlukan kesabaran untuk
mencapai target dan sasaran dengan kwalitas terjamin, lari estafet
memang tampak kelihatan lambat , akan tetapi potensi dan tenaga
terdistribusi secara kolektif dan perpaduan kerjasama terarah secara
baik untuk memberikan sebuah jaminan kemenanagn di garis finis. Watak
perjalanan da’wah yang lambat harus dilihat dari proses dan tahapanyya
bukan dari perangai para pelakunya, karena perangai yang lambat dalam
berda’wah adalah bentuk kelalaian, yang nasab (afiliasi) nya kepada
jama’ah kaliber Internasionalpun tidak akan mempercepat langkah kerja
da’wahnya, sebagaiman hadits rasulullah shallahu 'alaihi wasallam: “Man bathi’a ‘amaluhu lam
yusra’ bihi nasabuhu” (Barang siapa yang lamban kerjanya, tidak bisa
dipercepat dirinya dengan nasabnya).Salah satu jaminan dari proses
tarbiyah adalah melahirkan sebuah kepribadian yang integral, tidak
mendua dan tidak terbelah, integritas kepribadian seorang muslim yang
ditempa di jalan Tarbawi tercermin pada keteguhan akidahnya, keluhuran
akhlaknya , kebersuhan hatinya, kebaikan suluknya baik secara ta’abbudi,
ijtima’i maupun tandzhimi.
Keberhasilan
sebuah da’wah akan tampak sejauh mana keterjaminannya bila dihadapkan
oleh situasi dan kondisi yang menguji integritas kepribadiannya.
Sebagaimana halnya ketika terjadi tragedi “Haditsul Ifki” yang menimpa
Aisyah radhiallahu anha, banyak orang yang yang tidak terjamin akhlaknya
sehingga turut menyebarluaskan fitnah keji tersebut, bandingkan dengan
para sahabiyah yang terjamin kualitas tarbawinya, yang menjaga lisannya,
yang lebih senang mengedepankan husnudzhannya kepad ummul Mu’minin
aisyah radhiallahu 'anha, cukuplah isteri Abu Ayyub al-anshari mewakili keluarga para
shabiyah yang berhati mulia, bagaiman ia mensikapi kasus tersebut dengan
penuh rasa ukhuwwah dan mencintai saudaranya karena Allah subuhanahu wa ta'ala.
Berkenaan
dengan gunjingan yang menimpa Aisyah radhiallahu 'anha, isteri Abu Ayyub al-Anshary
berkata kepada suaminya : “Ya..Abaa ayyub!, lau kunta safwaana hal
taf’alu bihurmati rasulillaahi suu’an, wa hua khairun minka, Ya…Abaa
ayyub lau kuntu ‘Aisyah maa khuntu Rasulallahi abadan” (Wahai abu Ayyub,
jika engkau yang menjadi Safwannya apakah engkau berbuat yang
tidak-tidak kepada isteri Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam, dan Safwan lebih baik dari
engkau. Wahai abu Ayyub, kalau aku yang jadi Aisyah, tidak akan pernah
akau menghianati Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam, dan Aisyah lebih baik dariku).
Kata-kata
isteri Abu Ayyub syarat dengan taushiah agar kita menjaga syahwatul
lisan, mendahulukan husnu dzhan dan menonjolkan sikap tawaddhu sebagai
bukti terjaminnya hasil da’wah.
Pendekatan taktis
Setelah
ketiga faktor idealis tersebut diatas telah terealisasi dengan baik,
maka langkah berikutnya adalah memetakan langkah-langkah taktis, untuk
menyeimbangkan luasnya medan da’wah dengan jumlah kader dan
menyelaraskan dukungan masa dengan potensi (kemampuan) tarbiyah.
Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam melakukan program “Bi’tsatudduat” beberapa orang sahabat untuk
menda’wahkan dan mengajarkan serta melakukan pembinaan kepada
orang-orang yang baru masuk Islam, yang telah melampaui wilayah Makkah
dan Madinah, seperti Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman dan Khalid bin
Walid yang dikirim ke wilayah irak
Pendekatan Operasional Strategis
Langkah
strategis dalam sebuah perjalanan da’wah yang sangat penting adalah
fokus untuk menyusun barisan kader inti, dimana hal ini tidak boleh
terabaikan betapapun gegap gempitanya sambutan masyarakat umum terhadap
da’wah ini, oleh karena itu untuk menghindari terjadinya “Lose of
generation”, atau generasi kader yang lowong, maka segera mendesak untuk
dirumuskan sebuah strategi membina kader baru yang sekarang ini semakin
kompetitif dengan gerakan-gerakan da’wah lainnya. Semakin banyak jumlah
jumlah kader inti disamping kader baru baik secara kwalitas maupun
kwantitas akan banyak membantu da’wah ini dalam menghadapi berbagai
permasalahan dan ancaman.
Pada
masa Abu Bakar radhiallahu 'anhu, terjadi gelombang pemurtadan yang luar biasa,
sehingga 2/3 jazirah Arab nyaris mengalami kemurtadan, itu artinya hanya
1/3 wilayah yang selamat yang terdiri dari kota Makkah, Madinah dan
Thaif, di ketiga kota inilah kader inti da’wah tetap dijaga dan
dipelihara, sedangkan kader-kader baru dibina pada masa Khalifah Umar
bin Khattab dimana kebanyakan mereka adalah tawanan perang Riddah pada
masa Abu Bakar radhiallahu 'anhu. Terbukti kemudian pada perang Qadisiyah, ketika
ancaman imperium Persia menghadang, kader-kader baru yang dibina oleh
Umar bin Khaatab selama kurang lebih satu tahun kebanyakan mereka berada
dibarisan paling depan dalam jihad fi sabilillah, dan tak jarang
diantara mereka kemudian terkenal sebagai panglima dan komandan pasukan.
Itulah hasil sebuah produk tarbiyah [lihat QS Ali Imran (3): 146].
Wallahu ‘alamu bisshawab
Sumber : beranda.blogsome.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar