Selasa, 27 Maret 2012

MENGAPA HARUS TARBIYAH??

(SEBUAH PENJELASAN TENTAG PERAN PENTING TARBIYAH)
 
Adalah Abdulloh bin Rowahah radhiallahu 'anhu, seorang sahabat yang ketika diangkat oleh Rosululloh shallallahu 'alaihi wasallam menduduki sebuah jabatan panglima dalam perang Mu’tah, Ia menerimanya dengan tangis dan cucuran air mata. Lalu para sahabat lainnya bertanya : “Maa yubkika ya… Abdalloh…” (Apa gerangan yang membuat engkau menangis wahai Abdulloh…), Iapun menjawab : “Wa maa bia hubbuddunya walaa shabaabatan bikum walaakin tadzakkartu hina dzakaranii Rosulullohu biqoulihi ta’ala : Wa in minkum illaa waariduhaa kaana alaa Rabbika Hatman Maqdhiyya” (Tidak ada pada diriku cinta dunia dan keinginan untuk dielu-elukan oleh kalian, akan tetapi aku hanya teringat ketika Rosululloh mengingatkanku dengan firman Alloh subuhanahu wa ta'ala : “Dan tidaklah dari kalain melainkan akan mendatanginya (neraka jahannam) adalah yang demikian itu bagi Tuhanmu (ya! Muhammad) merupakan ketentuan yang telah ditetapkan”. (QS. Maryam : 71).


Dari ungkapan Abdulloh bin Rowahah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa beliau mentadabburkan ayat al-qur’an begitu dalam, sehingga beliau mengaitkan erat ayat tersebut dengan amanah jabatan yang baru saja dipangkuanya, apakah jabatannya kelak dapat menyelamatkannya ketika masing-masing orang mau tidak mau harus melewati “Shirothol Mustaqim”, karena menghadapi neraka Jahannam dengan melewatinya adalah “HatmanMaqdhiyya”, ketentuan yang telah ditetapkan, tidak ada jalan alternatif lain dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
 
“Hatman Maqdhiyya” juga berlaku dalam kaidah Tarbiyah sebagai sebuah proses dalam proyek kebangkiatan umat dan pembangunan peradaban, oleh karenanya Tarbiyah memiliki sifat “Hatmiyyah”, sifat keniscayaan, dengan kata lain bahwa Tarbiyah suatu keniscayaanTarbiah!. Karena Tarbiyah adalah jalan yang dikehendaki oleh Alloh subuhanahu wa ta'ala untuk diikuti ( QS. 6 : 153 ), dalam rangka melahirkan kader-kader generasi Rabbani (Generasi-generasi yang tertarbiyah) yang senantiasa antusias mengajarkan Al-qur’an dan mempelajarinya ( QS. 3 : 79). adala sebuah keharusan, atau ketentuan yang harus dipenuhi, konsekwensi yang harus dijalankan, tidak dapat ditawar dan tidak bisa tergantikan dengan apapun. Walhasil untuk dapat istiqomah di jalan da’wah serta mencapai target dan sasarannya, hanya ada satu jalan : 

Tarbiyah suatu keniscayaan dalam prosesnya dapat dilakukan minimal dengan tiga pendekatan, idealis, taktis dan operasional.

Pendekatan Idealis

Tarbiyah adalah jalan bagi para da’i Islam, tidak ada jalan lain, atau dengan kata lain jalan para da’i adalah jalan tarbawi yang memiliki paling sedikit tiga karakter mendasar.

Pertama: Sulit tapi hasilnya paten (Sha’bun - Tsabit )

Sulitnya sebuah proses biasanya membuahkan hasil yang berkualitas, oleh karena itu proses da’wah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, bukanlah perkara yang mudah, bayangkan, lima tahun pertama dalam da’wahnya di Mekkah baru hanya terkumpul “Arba’una rajulan wa khamsu niswatin” (40 laki-laki dan 5 wanita), akan tetapi ke 45 orang inilah yang kemudian menjadi ujung tombak da’wah, yang tidak hanya “Qaabilun lidda’wah” tetapi juga “Qaabilun litthagyir”, bahkan mereka seluruhnya menjadi “Anashiruttaghyir”, “Agen of change”, agen perubahan sosial dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang islami.

Berda’wah memang tidak mudah, karena berda’wah melalui proses tarbiyah ibarat menanam pohon jati, yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara sehingga akarnya tetap kuat menghunjam dan tidak goyah diterpa badai dan angin kencang, oleh karena itu jalan tarbawi adalah proses menuju pembentukan pribadi yang paten, atau dengan kata lain memiliki “matanah” (imunitas) baik secara “ma’nawiyah” (moralitas), “fikriyah” (gagasan dan pemikiran) dan “Tandzhimiyah” (struktural).

Ka’ab bin Malik radhiallahu 'anhu. Adalah salah satu contoh dari sebuah kepribadian yang paten, yang dengan kesadaran ma’nawiyah, fikriyah dan tandhimiyahnya, Ia mengakui kelalaiannya tidak turut serta dalam perang Tabuk, dan kemudian iapun dengan ikhlas menerima ‘uqubah (sanksi) yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam. Bahkan ketika datang utusan dari kerajaan Ghassan yang secara diam-diam menemuinya untuk menyampaikan sepucuk surat dari raja Ghassan yang isinya antara lain suaka poltik dan jabatan penting telah tersedia untuknya bila Ia mau eksodus, Ia malah berkata seraya merobek surat tersebut:“Ayyu Mushibatin Hadzihi” (Musibah apa lagi ini..!)

Itulah sebuah refleksi dari sikap matanah yang hanya bisa dihasilkan melalu proses tarbiyah yang tidak mudah, melalui jalan da’wah yang terkonsep secara paten, Al-Qur’an menyebutnya dengan “Al-Qaulu Al-Tsabit” [QS. Ibraih (14): 27 ], yang terumuskan di atas konsep yang baik atau “Kalimat Thayyibah” bukan “kalimat khabitsah” [QS. Ibraih (14): 25 - 26 ).

Kedua: Proses yang Panjang tetapi terjaga kemurniannya (Thawil - Ashil)

Da’wah adalah perjalan panjang, perjalan yang dilalui tidak hanya oleh satu generasi, bahkan untuk dapat mencapai target dan sasaran jangka panjangnya membutuhkan beberapa generasi, Ingatlah ketika Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam mengayunkan palu memecahkan bebatuan parit Khandaq, ada percikan apa keluar dari sela-sela hantaman palu dan batu memercik ke arah timur, lalu beliau mengisyaratkan bahwa umatnya kelak akan dapat menaklukan Romawi (Byzantium). Padahal Romawi baru dapat di Taklukan oleh umat Islam pada masa daulah Utsmaniyah sekian abad sesudahnya, berapa generasi yang telah telampaui dan berapa panjang perjalanan da’wah yang telah dilalui? Akan tetapi ikhwah fillah betapaun telah melewati sekian banyak generasi, “Ashalah” tetap terjaga, “Hammasah” tetap terpelihara, Islam yang sampai ke Romawi adalah Islam sebagaimana yang dijalankan oleh generasi pertamanya yaitu Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam dan Para sahabat Radhiallahu ‘anhum wa radhuu’anhu.

Kepribadian yang ashalah adalah keperibadian yang telah teruji dengan panjangngnya mata rantai perjalan da’wah, keperibadian yang hammasah adalah kepribadian yang tak lekang kerena ‘panas’ dan tak lapuk karena ‘hujan’, sebagai ujian dan cobaan dalam perjalanan da’wah.

Adalah Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu 'anhu, salah seoarang sahabat yang Allah subuhanahu wa ta'ala berikan kepadanya umur yang panjang, sehingga beliau masih hidup pada masa kekhalifahan Utsman radhiallahu anhu, beliau yang saat itu usianya sudah renta, ketika ada seruan jihad maritim, mengarungi lautan menuju perairan Yunani untuk menghadapi pasukan Romawi, seruan jihad berkumandang melalui lantunan ayat-ayat Al-Qur’an “Infiruu khifafan wa tsiqaalan” (berangkatlah kalian dalam keadaan ringan maupun berat), lalu anak-anaknya berkata kepadanya: “Sudahlah Ayah tak usah ikut berperang, cukuplah kami saja yang masih muda yang mewakili Ayah di medan perang,” dengan kecerdasan menafsirkan ayat tersebut dibarengi dengan pembawaan“Hikmatussuyukh Hammasatussyabab” Abu Ayyub menjawab, “Tidak bisa, ayat tersebut telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin baik yang tua maupun yang muda, karena ayat tersebut menyebutkan “khifafan” (ringan) berarti ditujukan untuk kalian yang masih muda dan “tsiqalan” ditujukan untuk yang sudah tua. Maka anak-anaknya pun tak dapat membendung tekad sang ayah. berangkatlah Abu Ayyub Al-Anshary turut serta dalam peperangan tersebut dan Iapun menemui syahadahnya.

Adalah Saad bin Abi Waqqash radhiallahu 'anhu, yang telah menggoreskan kesaksian perjalan da’wah dengan kepribadian yanga ashalah yang tidak berubah karena perubahan situasi dan zaman, dari masa-masa yang penuh dengan kesulitan dan penderitaan hingga masa-masa yang penuh dengan kemudahn dan kesenangan, mengenang semua itu beliau berkata : “Aku adalah salah satu dari 7 orang sahabat (dari 10 sahabat yang dijanjikan masuk surga), dahulu kami bersama Rasulllah shallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah ekspedisi, kami tidak memiliki makanan, sehingga kami makan daun-daunan sampai perih tenggorokan kami, akan tetapi sekarang kami yang tujuh orang ini seluruhnya menjadi gubernur di beberapa daerah, maka kami berlindung kepada Allah subuhanahu wa ta'ala agar tidak menjadi orang yang merasa besar di tengah-tengah manusia tetapi menjadi kecil di sisi Allah subuhanahu wa ta'ala”.

Ketiga : Lambat tapi hasilnya terjamin (Bathi’ - Ma’mun)

Da’wah adalah lari estafet bukan sprint, untuk itu diperlukan kesabaran untuk mencapai target dan sasaran dengan kwalitas terjamin, lari estafet memang tampak kelihatan lambat , akan tetapi potensi dan tenaga terdistribusi secara kolektif dan perpaduan kerjasama terarah secara baik untuk memberikan sebuah jaminan kemenanagn di garis finis. Watak perjalanan da’wah yang lambat harus dilihat dari proses dan tahapanyya bukan dari perangai para pelakunya, karena perangai yang lambat dalam berda’wah adalah bentuk kelalaian, yang nasab (afiliasi) nya kepada jama’ah kaliber Internasionalpun tidak akan mempercepat langkah kerja da’wahnya, sebagaiman hadits rasulullah shallahu 'alaihi wasallam: “Man bathi’a ‘amaluhu lam yusra’ bihi nasabuhu” (Barang siapa yang lamban kerjanya, tidak bisa dipercepat dirinya dengan nasabnya).Salah satu jaminan dari proses tarbiyah adalah melahirkan sebuah kepribadian yang integral, tidak mendua dan tidak terbelah, integritas kepribadian seorang muslim yang ditempa di jalan Tarbawi tercermin pada keteguhan akidahnya, keluhuran akhlaknya , kebersuhan hatinya, kebaikan suluknya baik secara ta’abbudi, ijtima’i maupun tandzhimi.

Keberhasilan sebuah da’wah akan tampak sejauh mana keterjaminannya bila dihadapkan oleh situasi dan kondisi yang menguji integritas kepribadiannya. Sebagaimana halnya ketika terjadi tragedi “Haditsul Ifki” yang menimpa Aisyah radhiallahu anha, banyak orang yang yang tidak terjamin akhlaknya sehingga turut menyebarluaskan fitnah keji tersebut, bandingkan dengan para sahabiyah yang terjamin kualitas tarbawinya, yang menjaga lisannya, yang lebih senang mengedepankan husnudzhannya kepad ummul Mu’minin aisyah radhiallahu 'anha, cukuplah isteri Abu Ayyub al-anshari mewakili keluarga para shabiyah yang berhati mulia, bagaiman ia mensikapi kasus tersebut dengan penuh rasa ukhuwwah dan mencintai saudaranya karena Allah subuhanahu wa ta'ala.

Berkenaan dengan gunjingan yang menimpa Aisyah radhiallahu 'anha, isteri Abu Ayyub al-Anshary berkata kepada suaminya : “Ya..Abaa ayyub!, lau kunta safwaana hal taf’alu bihurmati rasulillaahi suu’an, wa hua khairun minka, Ya…Abaa ayyub lau kuntu ‘Aisyah maa khuntu Rasulallahi abadan” (Wahai abu Ayyub, jika engkau yang menjadi Safwannya apakah engkau berbuat yang tidak-tidak kepada isteri Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam, dan Safwan lebih baik dari engkau. Wahai abu Ayyub, kalau aku yang jadi Aisyah, tidak akan pernah akau menghianati Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam, dan Aisyah lebih baik dariku).

Kata-kata isteri Abu Ayyub syarat dengan taushiah agar kita menjaga syahwatul lisan, mendahulukan husnu dzhan dan menonjolkan sikap tawaddhu sebagai bukti terjaminnya hasil da’wah.


Pendekatan taktis

Setelah ketiga faktor idealis tersebut diatas telah terealisasi dengan baik, maka langkah berikutnya adalah memetakan langkah-langkah taktis, untuk menyeimbangkan luasnya medan da’wah dengan jumlah kader dan menyelaraskan dukungan masa dengan potensi (kemampuan) tarbiyah. 

Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam melakukan program “Bi’tsatudduat” beberapa orang sahabat untuk menda’wahkan dan mengajarkan serta melakukan pembinaan kepada orang-orang yang baru masuk Islam, yang telah melampaui wilayah Makkah dan Madinah, seperti Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman dan Khalid bin Walid yang dikirim ke wilayah irak

Pendekatan Operasional Strategis

Langkah strategis dalam sebuah perjalanan da’wah yang sangat penting adalah fokus untuk menyusun barisan kader inti, dimana hal ini tidak boleh terabaikan betapapun gegap gempitanya sambutan masyarakat umum terhadap da’wah ini, oleh karena itu untuk menghindari terjadinya “Lose of generation”, atau generasi kader yang lowong, maka segera mendesak untuk dirumuskan sebuah strategi membina kader baru yang sekarang ini semakin kompetitif dengan gerakan-gerakan da’wah lainnya. Semakin banyak jumlah jumlah kader inti disamping kader baru baik secara kwalitas maupun kwantitas akan banyak membantu da’wah ini dalam menghadapi berbagai permasalahan dan ancaman.

Pada masa Abu Bakar radhiallahu 'anhu, terjadi gelombang pemurtadan yang luar biasa, sehingga 2/3 jazirah Arab nyaris mengalami kemurtadan, itu artinya hanya 1/3 wilayah yang selamat yang terdiri dari kota Makkah, Madinah dan Thaif, di ketiga kota inilah kader inti da’wah tetap dijaga dan dipelihara, sedangkan kader-kader baru dibina pada masa Khalifah Umar bin Khattab dimana kebanyakan mereka adalah tawanan perang Riddah pada masa Abu Bakar radhiallahu 'anhu. Terbukti kemudian pada perang Qadisiyah, ketika ancaman imperium Persia menghadang, kader-kader baru yang dibina oleh Umar bin Khaatab selama kurang lebih satu tahun kebanyakan mereka berada dibarisan paling depan dalam jihad fi sabilillah, dan tak jarang diantara mereka kemudian terkenal sebagai panglima dan komandan pasukan. Itulah hasil sebuah produk tarbiyah [lihat QS Ali Imran (3): 146]. Wallahu ‘alamu bisshawab
Sumber : beranda.blogsome.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar