Senin, 02 April 2012

Etika Seorang Guru


Anda seorang guru atau murobbi? Subuhanallah, pekerjaan itu adalah pekerjaan mulia. Namun tahukah, kemuliaan sebuah amal bergantung pada dua hal, yakni niat dan bagaimana prosesnya? Maka kita perlu memahami adab-adab bagaimana menjadi guru atau seorang murobby yang sukses

1. Saat mengajar, seorang guru hendaknya berniat mencari ridha Allah. Tidak mencari kedudukan mulia di sisi para penguasa, tidak memasang tariff dari ilmu yang diajarkan, dan tidak mendekati orang-orang kaya saja.

2. Seorang guru seyogiyanya menghiasi diri dengan akhlak yang baik yang sesuai dengan syari’at, tingkah laku terpuji, serta nilai-nilai yang diridhai dan telah ditunjukkan oleh Allah. Misalnya, zuhud di dunia, memandang rendah dunia dan penghuninya, dermawan, pemurah, berakhlak mulia, wajah ceria tanpa mengumbar nafsu, lemah lembut, sabar, tidak mengerjakan perbuatan rendah dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa, maksiat dan syubhat. Kemudian khusyuk, tenang, tawadhu’, menghindari tertawa dan banyak bergurau, selalu konsisten dengan amalan-amalan syari’at seperti mencukur kumis, memotong kuku, merapikan jenggot, dan menghilangkan bau tak sedap.


Penampilan lahir dan batinnya juga dihiasi dengan sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti yang dikatakan Umar bin Khathtab radhiallahu anhu, “Barangsiapa memperlihatkan kebaikan kepada kami, kami juga menganggapnya baik dan menyukainya. Barangsiapa memperlihatkan kejelekan kepada kami, kami juga menganggapnya jelek dan membencinya.”

3. Seorang guru sepatutnya membersihkan diri dari perkara-perkara makruh, dan berlebih-lebihan dalam melakukan perbuatan mubah di depan murid-muridnya. Seorang guru juga hendaknya menjaga agar murid-muridnya senantiasa melihatnya dalam ketaatan  dalam keadaan taat kepada Allah, sembari memperbanyak zikir dan menghadap kepada Raab-nya. Hendaklah ia benar-benar menjauhi sifat iri, riya’, ujub dan meremehkan orang lain.

4. Seorang guru harus bersikap ramah kepada orang yang belajar kepadanya, mempersilahkan nya, dan berbuat baik sesuai dengan kondisinya. Ia juga harus memberinya nasehat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
Agama itu nasehat bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan bagi kaum muslimin pada umumnya.” (HR. at-Tirmidzi)

5. Seorang guru harus sayang kepada orang yang belajar ilmu kepadanya, dan memperhatikan kemashlahatannya sebagaimana ia memperhatikan kemashlahatan anak atau dirinya sendiri.

Selain itu, ia juga harus tawadhu’ kepada orang yang berulang kali dating belajar pada dirinya. Abu Ayyub As-Sakhtiyani berkata, ‘Sepatutnya orang berilmu meletakkan debu di atas kepalanya karena tawadhu’ kepada Allah.”

6. Seharusnya seorang guru tetap antusias dalam mengajar  murid-muridnya. Pun mengtamakan kemashlahatan dirinya sendiri yang tidak urgen, mengosongkan hatinya dari factor-faktor yang membuatnya lalai, dan memberikan kepada setiap orang sesuatu yang layak baginya.

Karena itu, tidak boleh mengajarkan banyak hal kepada orang yang tidak mampu. Tidak mengajar sedikit pelajaran kepada orang yang mampu. Memuji murid yang unggul, selama tidak dikhawatirkan tertimpa fitnah atau lainnya. Bertindak keras kepada murid yang melakukan kesalahan selama ia tidak dikhawatirkan lari.

Pun tidak iri terhadap muridnya karena keistimewaan yang tampak darinya. Tidak meminta banyak terhadap nikmat yang dianugrahkan Allah kepadanya. Iri kepada orang lain benar-benar diharamkan. Lalu bagaimana iri dengan kapasitas seorang anak didik, padahal keutamaannya di akhirat berupa pahala agung kembali kepada gurunya, dan di dunia ia mendapat pujian yang indah. Hanay Allah Dzat yang Maha Menolong.

Wallahu A’lam

Sumber, Kitab al-Bahrur ra’iq fiz zuhdi warraqa’iq Karya Syaikh Dr. Ahmad Farid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar