Anda seorang guru atau murobbi? Subuhanallah, pekerjaan itu adalah pekerjaan mulia. Namun tahukah, kemuliaan sebuah amal bergantung pada dua hal, yakni niat dan bagaimana prosesnya? Maka kita perlu memahami adab-adab bagaimana menjadi guru atau seorang murobby yang sukses
1. Saat mengajar, seorang guru
hendaknya berniat mencari ridha Allah. Tidak mencari kedudukan mulia di sisi
para penguasa, tidak memasang tariff dari ilmu yang diajarkan, dan tidak
mendekati orang-orang kaya saja.
2. Seorang guru seyogiyanya
menghiasi diri dengan akhlak yang baik yang sesuai dengan syari’at, tingkah
laku terpuji, serta nilai-nilai yang diridhai dan telah ditunjukkan oleh Allah.
Misalnya, zuhud di dunia, memandang rendah dunia dan penghuninya, dermawan,
pemurah, berakhlak mulia, wajah ceria tanpa mengumbar nafsu, lemah lembut,
sabar, tidak mengerjakan perbuatan rendah dan menjauhkan diri dari perbuatan
dosa, maksiat dan syubhat. Kemudian khusyuk, tenang, tawadhu’, menghindari
tertawa dan banyak bergurau, selalu konsisten dengan amalan-amalan syari’at
seperti mencukur kumis, memotong kuku, merapikan jenggot, dan menghilangkan bau
tak sedap.
Penampilan lahir dan batinnya
juga dihiasi dengan sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti yang
dikatakan Umar bin Khathtab radhiallahu anhu, “Barangsiapa memperlihatkan
kebaikan kepada kami, kami juga menganggapnya baik dan menyukainya. Barangsiapa
memperlihatkan kejelekan kepada kami, kami juga menganggapnya jelek dan
membencinya.”
3. Seorang guru sepatutnya
membersihkan diri dari perkara-perkara makruh, dan berlebih-lebihan dalam
melakukan perbuatan mubah di depan murid-muridnya. Seorang guru juga hendaknya
menjaga agar murid-muridnya senantiasa melihatnya dalam ketaatan dalam keadaan taat kepada Allah, sembari
memperbanyak zikir dan menghadap kepada Raab-nya. Hendaklah ia benar-benar
menjauhi sifat iri, riya’, ujub dan meremehkan orang lain.
4. Seorang guru harus bersikap ramah
kepada orang yang belajar kepadanya, mempersilahkan nya, dan berbuat baik
sesuai dengan kondisinya. Ia juga harus memberinya nasehat, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
“Agama itu nasehat bagi Allah,
Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan bagi kaum muslimin pada
umumnya.” (HR. at-Tirmidzi)
5. Seorang guru harus sayang kepada
orang yang belajar ilmu kepadanya, dan memperhatikan kemashlahatannya
sebagaimana ia memperhatikan kemashlahatan anak atau dirinya sendiri.
Selain itu, ia juga harus tawadhu’
kepada orang yang berulang kali dating belajar pada dirinya. Abu Ayyub
As-Sakhtiyani berkata, ‘Sepatutnya orang berilmu meletakkan debu di atas
kepalanya karena tawadhu’ kepada Allah.”
6. Seharusnya seorang guru tetap
antusias dalam mengajar murid-muridnya. Pun
mengtamakan kemashlahatan dirinya sendiri yang tidak urgen, mengosongkan
hatinya dari factor-faktor yang membuatnya lalai, dan memberikan kepada setiap
orang sesuatu yang layak baginya.
Karena itu, tidak boleh
mengajarkan banyak hal kepada orang yang tidak mampu. Tidak mengajar sedikit pelajaran
kepada orang yang mampu. Memuji murid yang unggul, selama tidak dikhawatirkan
tertimpa fitnah atau lainnya. Bertindak keras kepada murid yang melakukan
kesalahan selama ia tidak dikhawatirkan lari.
Pun tidak iri terhadap muridnya
karena keistimewaan yang tampak darinya. Tidak meminta banyak terhadap nikmat
yang dianugrahkan Allah kepadanya. Iri kepada orang lain benar-benar
diharamkan. Lalu bagaimana iri dengan kapasitas seorang anak didik, padahal
keutamaannya di akhirat berupa pahala agung kembali kepada gurunya, dan di
dunia ia mendapat pujian yang indah. Hanay Allah Dzat yang Maha Menolong.
Wallahu A’lam
Sumber, Kitab al-Bahrur ra’iq fiz zuhdi warraqa’iq Karya Syaikh Dr. Ahmad
Farid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar