Dalam menuntut ilmu, seorang muslim harus memahami bagaimana adab yang mesti dilakukan. Sebab adab dalam menuntut ilmu sangat mempengaruhi hasil yang dicapai. Berikut bebarapa adab penuntut ilmu yang diringkas dari Kitab At-Tibyaan 'An Adaabi Hamalatil Qur'aan karya Imam An-Nawawi, Mukhtashar Minhaajul Qashidiin karya Ibnu Qudamah, dan Akhlaaqul 'Ulamaa' karya Imam Al-Ajuri.
1. Orang yang menuntut ilmu
seyogyanya tahu bahwa Allah mewajibkannya utnuk beribadah kepada-Nya, sementara
ibadah harus ditunaikan dengan ilmu. Seorang mukmin tidak boleh bodoh terhadap
hal itu. Menuntut ilmu merupakan sarana untuk menghilangkan kebodohan dalam
beribadah kepada Allah sebagaimana telah diperintahkan, bukan menurut hawa
nafsunya.
Ini artinya, ketika menuntut ilmu
hendaknya ia melakukannya dengan ikhlas dan tidak mengharap kemuliaan pada
dirinya dalam usaha itu. Ia hanya melihat kemuliaan Allah atas dirinya. Karena Allah
telah membimbing dirinya untuk menuntut ilmu sebagai sarana untuk beribadah
kepada-Nya, melaksanakan kewajiban, dan menjauhi larangan-Nya.
2. Orang yang menuntut ilmu
hendaknya menghindari sebab-sebab yang bisa melalaikannya dari memperoleh ilmu,
kecuali suatu sebab yang tidak bisa ditinggalkan karena memang diperlukan.
Allah berfirman:
“Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (Al-Ahzaab: 4)
Selama pikiran masih
tercerai-berai, hakekat akan sulit diraih. Oleh sebab itu ada sebuah ungkapan, “Ilmu
tidak akan member bagiannya kepada Anda sampai anda memberikan seluruh dirimu
(daya upayamu) kepadanya.”
3. Penuntut ilmu hendaknya
menyucikan jiwa dari akhlak-akhlak yang rendah dan sifat-sifat tercela, karena
ilmu dalah ibadah hati, shalat yang tersembunyi, dan pendekatan batin kepada
Allah.
Syarat sah shalat yang merupakan
kewajiban anggota badan yang zahir adalah suci dari hadats dan najis. Demikian pula
dengan ibadah batin dan memakmurkan hati dengan ilmu, akan sah dengan
menyucikannya dari akhlak tercela dan sifat buruk.
Karena itu, ada sebuah
ungkapan, “Hati harus dibuat baik untuk menerima ilmu sebagaimana tanah dibuat
subur untuk ditamnami.”
4. Penuntut ilmu tidak boleh sombong
dengan ilmunya. Ia harus tawadhu’ kepada gurunya, menaati semua perintahnya,
dan patuh kepadanya, seperti orang sakit yang tunduk kepada dokter yang
penyayang dan berpengalaman. Meskipun gurunya lebih muda, tidak lebih terkenal,
dan jalur keturunannya tidak lebih mulia darinya. Sebab ilmu dapat diraih
dengan sikap tawadhu’ dan sabar takkala
belajar.
Barangsiapa belum pernah
mencicipi kehinaan sesaat pun
Maka akan memecah masa dalam
kondisi tertawan dan hina
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu
berkata,”Aku hina ketika menuntut ilmu dan mulia saat menjadi guru.”
5. Penuntut ilmu seyogiyanya
selektif memilih orang yang akan dijadikan guru. Hendaknya ia seorang yang
telah sempurnya kemampuannya, kelihatan agamanya, nyata pengetahuannya, dan
terkenal konsistensinya. Muhammad bin Sirin, Malik bin Anas, dan ulama salaf
lainnya mengatakan, “Ilmu adalah bagian dari agama, karena itu lihatlah dari
siapa kalian mempelajari agama kalian.”
Seorang penuntut ilmun harus
menghormati gurunya agar ilmu yang diperolehnya dapat lebih bermanfaat. Sebagian
orang-orang terdahulu apabila mendatangi gurunya, mereka menyedekahkan sesuatu
seraya berdo’a, "Ya Allah, tutupilah celah guruku dan jangan hilangkan
keberkahan ilmunya dariku.”
Rabi’, murid Imam Syafi’I menceritakan,
“Aku tidak berani mium takkala Imam Syafi’I melihatku, sebagai penghormatan
untuk beliau.”
Ali bin Abi Thalib radhiallahu
anhu berkata, “Termasuk hak seorang guru atas dirimu adalah kamu mengucapkan salam
kepada orang-orang awwam dan mengucapkan salam secara khusus untuk gurumu,
berbeda dengan salam yang kamu ucapkan pada mereka."
Duduklah di depannya, jangan member
isyarat dengan tanganmu disisinya. Jangan member isyarat dengan kedua mata. Jangan
katakana, ‘Fulan berkata lain dari yang engkau katakana.’ Jangan mengumpat
seorang pun disisinya. Jangan pegang bajunya ketika berdiri. Jangan mendesaknya
ketika ia sedang letih, dan jangan merasa bosan karena terlalu lama
menemaninya.
6. Seorang penuntut ilmu handaknya dating
kepada gurunya dalam keadaan yang sempurna; suci dan hatinya sunyi dari
perkara-perkara yang melalaikan. Tidak mendatanginya tanpa izin. Mengucapkan salam
kepadanya ketika masuk, dan mengkhususkan salam kepadanya ketika ia dating bersama
banyak orang . duduklah dibagian akhir majelis, kecuali jika gurumu
mengizinkanmu maju atau ia tahu kalau para hadirin mempersilahkanmu.
Seorang penuntut ilmu juga tidak
boleh menyuruh seseorang berdiri dari tempat duduknya. Apabila orang lain
mengutamakannya, hendaknya ia tidak menerima, seperti yang dilakukan Ibnu Umar
radhiallahu anhu, kecuali jika pengutamaannya mendatangkan maslahat bagi para
hadirin, atau diperintahkan oleh gurunya.
Ia juga tidak boleh duduk di
tengah-tengah perkumpulan orang kecuali dalam keadaan darurat. Tidak boleh
duduk di antara dua orang tanpa seizing salah satu dari keduanya. Namun bila
keduanya memperluas tenpat duduk untuknya, sebaiknya ia duduk bergabung dengan
mereka.
7. Penuntut ilmu seyogiyanya berlaku
sopan kepada teman-teman belajarnya. Karena hal itu termasuk adab kepada guru
dan menjaga majelisnya. Seorang penuntut ilmu tidak diperkenankan mengeraskan
suara, tertawa, banyak bicara tanpa kebutuhan, bermain-main dengan tangannya,
serta menoleh ke kanan dank e kiri tanpa ada keperluan dalam majilis ilmu. Bahkan
sebaiknya ia tetap menghadap kea rah gurunya sambil mendengarkan perkataannya.
8. Penuntut ilmu harus belajar
disetiap waktu yang dimungkinkan untuk belajar. Jangan merasa puas dengan
pengetahuan yang sedikit, bila ia mampu mendapatkan yang banyak. Jangan memaksa
diri menanggung beban diluar kemampuan, karena dikhawatirkan bosan dan menyia-nyiakan
ilmu yang ia dapat. Hal itu tentu berbeda satu sama lain. Sebaiknya seorang
penuntut ilmu memanfaatkan waktu luang , masa-masa aktif, kondisi tubuh yang
kuat, hati yang bersih, dan sedikitnya kesibukan dengan menuntut ilmu.
Amurul Mukminin Umar bin Khathab
radhiallahu anhu menuturkan
“Belajarlah kalian sebelum kalian
menjadi pemimpin. Karena bila kalian sudah menjadi pemimpin yang diikuti,
kalian tidak bisa belajar karena tingginya kedudukan dan banyaknya kesibukan
kalian.”
Inilah maksud perkataan Imam
Syafi’i, “Belajarlah kamu sebelum menjadi pemimpin, karena bila kamu telah
menjadi pemimpin, maka tidak ada jalan bagimu untuk belajar.”
Semoga Allah subuhanahu wa ta’ala
senantiasa mencurahkan kemudahan dan kasih saying-Nya kepada kita sekalian
dalam menuntut ilmu agama guna bekal hidup di dunia dan akhirat kelak.
Wallahu a’lam
Sumber: Kitab Al-Bahrur ra’iq fiz
zuhdi warraqa’iq, karya Syaikh Dr. Ahmad Farid Hafidzahullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar