Minggu, 01 April 2012

Adab Penuntut Ilmu

Dalam menuntut ilmu, seorang muslim harus memahami bagaimana adab yang mesti dilakukan. Sebab adab dalam menuntut ilmu sangat mempengaruhi hasil yang dicapai. Berikut bebarapa adab penuntut ilmu yang diringkas dari Kitab At-Tibyaan 'An Adaabi Hamalatil Qur'aan karya Imam An-Nawawi, Mukhtashar Minhaajul Qashidiin karya Ibnu Qudamah, dan Akhlaaqul 'Ulamaa' karya Imam Al-Ajuri. 

1. Orang yang menuntut ilmu seyogyanya tahu bahwa Allah mewajibkannya utnuk beribadah kepada-Nya, sementara ibadah harus ditunaikan dengan ilmu. Seorang mukmin tidak boleh bodoh terhadap hal itu. Menuntut ilmu merupakan sarana untuk menghilangkan kebodohan dalam beribadah kepada Allah sebagaimana telah diperintahkan, bukan menurut hawa nafsunya.

Ini artinya, ketika menuntut ilmu hendaknya ia melakukannya dengan ikhlas dan tidak mengharap kemuliaan pada dirinya dalam usaha itu. Ia hanya melihat kemuliaan Allah atas dirinya. Karena Allah telah membimbing dirinya untuk menuntut ilmu sebagai sarana untuk beribadah kepada-Nya, melaksanakan kewajiban, dan menjauhi larangan-Nya.


2. Orang yang menuntut ilmu hendaknya menghindari sebab-sebab yang bisa melalaikannya dari memperoleh ilmu, kecuali suatu sebab yang tidak bisa ditinggalkan karena memang diperlukan. Allah berfirman:

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (Al-Ahzaab: 4)

Selama pikiran masih tercerai-berai, hakekat akan sulit diraih. Oleh sebab itu ada sebuah ungkapan, “Ilmu tidak akan member bagiannya kepada Anda sampai anda memberikan seluruh dirimu (daya upayamu) kepadanya.”

3. Penuntut ilmu hendaknya menyucikan jiwa dari akhlak-akhlak yang rendah dan sifat-sifat tercela, karena ilmu dalah ibadah hati, shalat yang tersembunyi, dan pendekatan batin kepada Allah.

Syarat sah shalat yang merupakan kewajiban anggota badan yang zahir adalah suci dari hadats dan najis. Demikian pula dengan ibadah batin dan memakmurkan hati dengan ilmu, akan sah dengan menyucikannya dari akhlak tercela dan sifat buruk. 

Karena itu, ada sebuah ungkapan, “Hati harus dibuat baik untuk menerima ilmu sebagaimana tanah dibuat subur untuk ditamnami.”

4. Penuntut ilmu tidak boleh sombong dengan ilmunya. Ia harus tawadhu’ kepada gurunya, menaati semua perintahnya, dan patuh kepadanya, seperti orang sakit yang tunduk kepada dokter yang penyayang dan berpengalaman. Meskipun gurunya lebih muda, tidak lebih terkenal, dan jalur keturunannya tidak lebih mulia darinya. Sebab ilmu dapat diraih dengan  sikap tawadhu’ dan sabar takkala belajar.

Barangsiapa belum pernah mencicipi kehinaan sesaat pun
Maka akan memecah masa dalam kondisi tertawan dan hina

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,”Aku hina ketika menuntut ilmu dan mulia saat menjadi guru.

5. Penuntut ilmu seyogiyanya selektif memilih orang yang akan dijadikan guru. Hendaknya ia seorang yang telah sempurnya kemampuannya, kelihatan agamanya, nyata pengetahuannya, dan terkenal konsistensinya. Muhammad bin Sirin, Malik bin Anas, dan ulama salaf lainnya mengatakan, “Ilmu adalah bagian dari agama, karena itu lihatlah dari siapa kalian mempelajari agama kalian.”

Seorang penuntut ilmun harus menghormati gurunya agar ilmu yang diperolehnya dapat lebih bermanfaat. Sebagian orang-orang terdahulu apabila mendatangi gurunya, mereka menyedekahkan sesuatu seraya berdo’a, "Ya Allah, tutupilah celah guruku dan jangan hilangkan keberkahan ilmunya dariku.”

Rabi’, murid Imam Syafi’I menceritakan, “Aku tidak berani mium takkala Imam Syafi’I melihatku, sebagai penghormatan untuk beliau.”

Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata, “Termasuk hak seorang guru atas dirimu adalah kamu mengucapkan salam kepada orang-orang awwam dan mengucapkan salam secara khusus untuk gurumu, berbeda dengan salam yang kamu ucapkan pada mereka."

Duduklah di depannya, jangan member isyarat dengan tanganmu disisinya. Jangan member isyarat dengan kedua mata. Jangan katakana, ‘Fulan berkata lain dari yang engkau katakana.’ Jangan mengumpat seorang pun disisinya. Jangan pegang bajunya ketika berdiri. Jangan mendesaknya ketika ia sedang letih, dan jangan merasa bosan karena terlalu lama menemaninya.

6. Seorang penuntut ilmu handaknya dating kepada gurunya dalam keadaan yang sempurna; suci dan hatinya sunyi dari perkara-perkara yang melalaikan. Tidak mendatanginya tanpa izin. Mengucapkan salam kepadanya ketika masuk, dan mengkhususkan salam kepadanya ketika ia dating bersama banyak orang . duduklah dibagian akhir majelis, kecuali jika gurumu mengizinkanmu maju atau ia tahu kalau para hadirin mempersilahkanmu.

Seorang penuntut ilmu juga tidak boleh menyuruh seseorang berdiri dari tempat duduknya. Apabila orang lain mengutamakannya, hendaknya ia tidak menerima, seperti yang dilakukan Ibnu Umar radhiallahu anhu, kecuali jika pengutamaannya mendatangkan maslahat bagi para hadirin, atau diperintahkan oleh gurunya.

Ia juga tidak boleh duduk di tengah-tengah perkumpulan orang kecuali dalam keadaan darurat. Tidak boleh duduk di antara dua orang tanpa seizing salah satu dari keduanya. Namun bila keduanya memperluas tenpat duduk untuknya, sebaiknya ia duduk bergabung dengan mereka.

7. Penuntut ilmu seyogiyanya berlaku sopan kepada teman-teman belajarnya. Karena hal itu termasuk adab kepada guru dan menjaga majelisnya. Seorang penuntut ilmu tidak diperkenankan mengeraskan suara, tertawa, banyak bicara tanpa kebutuhan, bermain-main dengan tangannya, serta menoleh ke kanan dank e kiri tanpa ada keperluan dalam majilis ilmu. Bahkan sebaiknya ia tetap menghadap kea rah gurunya sambil mendengarkan perkataannya.

8. Penuntut ilmu harus belajar disetiap waktu yang dimungkinkan untuk belajar. Jangan merasa puas dengan pengetahuan yang sedikit, bila ia mampu mendapatkan yang banyak. Jangan memaksa diri menanggung beban diluar kemampuan, karena dikhawatirkan bosan dan menyia-nyiakan ilmu yang ia dapat. Hal itu tentu berbeda satu sama lain. Sebaiknya seorang penuntut ilmu memanfaatkan waktu luang , masa-masa aktif, kondisi tubuh yang kuat, hati yang bersih, dan sedikitnya kesibukan dengan menuntut ilmu.

Amurul Mukminin Umar bin Khathab radhiallahu anhu menuturkan
Belajarlah kalian sebelum kalian menjadi pemimpin. Karena bila kalian sudah menjadi pemimpin yang diikuti, kalian tidak bisa belajar karena tingginya kedudukan dan banyaknya kesibukan kalian.”

Inilah maksud perkataan Imam Syafi’i, “Belajarlah kamu sebelum menjadi pemimpin, karena bila kamu telah menjadi pemimpin, maka tidak ada jalan bagimu untuk belajar.”

Semoga Allah subuhanahu wa ta’ala senantiasa mencurahkan kemudahan dan kasih saying-Nya kepada kita sekalian dalam menuntut ilmu agama guna bekal hidup di dunia dan akhirat kelak.

Wallahu a’lam

Sumber: Kitab Al-Bahrur ra’iq fiz zuhdi warraqa’iq, karya Syaikh Dr. Ahmad Farid Hafidzahullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar