Oleh, Abdullah al-Buthony
Cermatilah kisah ini : “Suatu hari ada seorang tua dan anaknya yang masih kanak-kanak membeli seekor keledai disebuah pasar. Lama mencari, akhirnya mereka mendapatkan seekor keledai yang sesuai dengan keinginan mereka. Seusai membeli mereka pun pulang ke rumah yang jaraknya lumayan jauh dari pasar. Di tengah perjalanan, orang-orang yang menyaksikan mereka saling berbisik. Rupanya mereka banyak mencemooh orang tua tersebut yang menunggang keledai sementara anaknya berjalan menuntun keledai. “Tega sekali orang tua itu, masa anak sekecil itu disuruh jalan kaki.” Akhirnya Sang orang tua menyuruh anaknya yang naik di atas keledai dan memutuskan untuk dia yang berjalan menuntun keledai. Namun setelah mereka kembali berjalan, orang-orang yang melihat mereka justru tetap saling berbisik mencemooh. “dasar anak tidak tahu diri, orang tuanya disuruh jalan kaki”…begitulah celoteh mereka.
Kali
ini, orang tua dan anaknya tersebut berjalan kaki menuntun keledai mereka.
Namun tetap sama, orang-orang yang melihat mereka terus mencemooh apa yang
mereka lakukan. “dasar idak berpikir,
punya keledai kok tidak ditunggangi”.
Terakhir, orang tua dan anaknya menaiki keledai itu dan apa yang terjadi? ,
ternyata itupun tetap mengundang komentar negative dari orang-orang yang
melihat mereka sepanjang perjalanan. “Dasar
tidak punya kepribinatangan, keledai sekecil itu dinaiki berdua…”
Begitulah
kisahnya, barangkali unik dan lucu. Namun boleh jadi kisah penuh hikmah ini
juga terjadi dalam kehidupan kita meski memiliki sisi waktu dan bentuk yang
berbeda, namun sama dari sisi esensi.
Kisah
ini memberi gambaran pada kita jika perhatian dalam hidup ini hanya
beroreantasi pada “apa kata orang”
maka hidup ini akan terasa melelahkan, tidak tenang dan tanpa tujuan yang pasti. Kenyataan membuktikan, saat kita
ingin mengumpulkan kesamaan presepsi banyak orang terhadap sesuatu atau diri
kita, adalah mustahil sama secara keseluruhan. Satu orang saja bisa jadi
memiliki pandangan beragam dan berubah-ubah.
Sebagaima
orang bijak mengatakan,
“keridhaan
semua manusia adalah tujuan yang tidak akan tercapai”
Ini berbeda dengan hanya mengoreantasikan
perhatian pada “apa kata Allah” dalam
kehidupan kita. Kita akan mendapatkan ketentraman jiwa, kelapangan dada, serta
rahmat yang selalu tercurah dari Allah Jalla
wa A’la. Kita akan bahagia, sebab Allah hanya satu, Ia Maha Esa, dan apa
yang Allah ingin tetapkan, ingini dan senangi, tidak pernah berubah dari dulu
hingga sekarang bahkan hingga kita kembali kepada-Nya. Baik itu dalam
permasalahan ibadah, keyakinan maupun permasalahan akhlak. Tauhid yang Allah
tetapkan dari dulu dan sekarang tidak pernah berubah. Shalat yang Allah tuntut
kepada kita dari dulu hingga sekarang juga sama tidak ada perubahan.
Bandingkan perbedaannya, orang yang
hidup dengan standar berbeda-beda dengan orang yang hidup dengan pedoman yang
mantap dan tidak berubah-ubah.
Kita manusia, juga memiliki
keterbatasan dalam menilai. Kadang kita merasa ini yang baik padahal dia buruk,
begitupun pula kita mungkin yakin ini buruk buat kita tapi ternyata hal
tersebut baik bagi diri kita. Semestinyalah parameter penilaian kita selalu
berdasarkan Allah dan Rasul-Nya.
Allah subuhanahu wa ta’ala berfirman,
“Boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia
buruk bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuau padahal ia baik bagimu.”
(QS.)
Lagi pula ketika kita mengejar
keridhaan Allah, maka dengan kekuasaan-Nya Allah Ta’ala akan menggiring manusia
ridho kepada-Nya. Namun jika sebaliknya, dimana kita mengejar keridhaan manusia
maka hasilnya pun akan terjadi sebaliknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Siapa yang berusaha mendapatkan ridho Allah
sekalipun dengan resiko kemarahan manusia, maka Allah meridhoinya dan menjadikan
manusia ridho kepadanya. Dan siapa berusaha mendapatkan ridho manusia dengan
melakukan apa yang membuat Allah murka, maka Allah murka kepadanya dan
menjadikan manusia marah kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban)
Sumber,
“Catatan Tarbiyyah” Abdullah al Buthony
Tidak ada komentar:
Posting Komentar