Sabtu, 14 April 2012

Pilihllah… “Apa Kata Orang” atau “Apa Kata Allah”


Oleh, Abdullah al-Buthony

            Cermatilah kisah ini : “Suatu hari ada seorang tua dan anaknya yang masih kanak-kanak membeli seekor keledai disebuah pasar. Lama mencari, akhirnya mereka mendapatkan seekor keledai yang sesuai dengan keinginan mereka.  Seusai membeli mereka pun pulang ke rumah yang jaraknya lumayan jauh dari pasar. Di tengah perjalanan, orang-orang yang menyaksikan mereka saling berbisik. Rupanya mereka banyak mencemooh orang tua tersebut yang menunggang keledai sementara anaknya berjalan menuntun keledai. “Tega sekali orang tua itu, masa anak sekecil itu disuruh jalan kaki.” Akhirnya Sang orang tua menyuruh anaknya yang naik di atas keledai dan memutuskan untuk dia yang berjalan menuntun keledai. Namun setelah mereka kembali berjalan, orang-orang yang melihat mereka justru tetap saling berbisik mencemooh. “dasar anak tidak tahu diri, orang tuanya disuruh jalan kaki”…begitulah celoteh mereka.


Kali ini, orang tua dan anaknya tersebut berjalan kaki menuntun keledai mereka. Namun tetap sama, orang-orang yang melihat mereka terus mencemooh apa yang mereka lakukan. “dasar idak berpikir, punya keledai kok tidak ditunggangi”. Terakhir, orang tua dan anaknya menaiki keledai itu dan apa yang terjadi? , ternyata itupun tetap mengundang komentar negative dari orang-orang yang melihat mereka sepanjang perjalanan. “Dasar tidak punya kepribinatangan, keledai sekecil itu dinaiki berdua…” 

Begitulah kisahnya, barangkali unik dan lucu. Namun boleh jadi kisah penuh hikmah ini juga terjadi dalam kehidupan kita meski memiliki sisi waktu dan bentuk yang berbeda, namun sama dari sisi esensi.

Kisah ini memberi gambaran pada kita jika perhatian dalam hidup ini hanya beroreantasi pada “apa kata orang” maka hidup ini akan terasa melelahkan, tidak tenang dan tanpa tujuan  yang pasti. Kenyataan membuktikan, saat kita ingin mengumpulkan kesamaan presepsi banyak orang terhadap sesuatu atau diri kita, adalah mustahil sama secara keseluruhan. Satu orang saja bisa jadi memiliki pandangan beragam dan berubah-ubah.

Sebagaima orang bijak mengatakan,

 “keridhaan semua manusia adalah tujuan yang tidak akan tercapai

            Ini berbeda dengan hanya mengoreantasikan perhatian pada “apa kata Allah” dalam kehidupan kita. Kita akan mendapatkan ketentraman jiwa, kelapangan dada, serta rahmat yang selalu tercurah dari Allah Jalla wa A’la. Kita akan bahagia, sebab Allah hanya satu, Ia Maha Esa, dan apa yang Allah ingin tetapkan, ingini dan senangi, tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang bahkan hingga kita kembali kepada-Nya. Baik itu dalam permasalahan ibadah, keyakinan maupun permasalahan akhlak. Tauhid yang Allah tetapkan dari dulu dan sekarang tidak pernah berubah. Shalat yang Allah tuntut kepada kita dari dulu hingga sekarang juga sama tidak ada perubahan.
           
            Bandingkan perbedaannya, orang yang hidup dengan standar berbeda-beda dengan orang yang hidup dengan pedoman yang mantap dan tidak berubah-ubah.

            Kita manusia, juga memiliki keterbatasan dalam menilai. Kadang kita merasa ini yang baik padahal dia buruk, begitupun pula kita mungkin yakin ini buruk buat kita tapi ternyata hal tersebut baik bagi diri kita. Semestinyalah parameter penilaian kita selalu berdasarkan Allah dan Rasul-Nya.
           
            Allah subuhanahu wa ta’ala berfirman,
Boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuau padahal ia baik bagimu.” (QS.)

            Lagi pula ketika kita mengejar keridhaan Allah, maka dengan kekuasaan-Nya Allah Ta’ala akan menggiring manusia ridho kepada-Nya. Namun jika sebaliknya, dimana kita mengejar keridhaan manusia maka hasilnya pun akan terjadi sebaliknya.
           
            Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


Siapa yang berusaha mendapatkan ridho Allah sekalipun dengan resiko kemarahan manusia, maka Allah meridhoinya dan menjadikan manusia ridho kepadanya. Dan siapa berusaha mendapatkan ridho manusia dengan melakukan apa yang membuat Allah murka, maka Allah murka kepadanya dan menjadikan manusia marah kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban)


Sumber, “Catatan Tarbiyyah” Abdullah al Buthony

Tidak ada komentar:

Posting Komentar